[{"id":"04174","pengunggah":"elvan","kategori":"Hadiah\/Sayembara Sastra","konten":"Hadiah Pegasus atau Pegasus Prize adalah hadiah sastra yang diberikan oleh Mobil Corporation (sekarang Exxon Mobil), suatu perusahaan minyak yang terkenal di Amerika Serikat. Pemberian hadiah itu dimaksudkan untuk memperkenalkan karya sastra yang masih jarang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dari negara-negara lain kepada pembaca Amerika Serikat. Hadiah berupa sejumlah uang, sebuah medali berlambangkan kuda sembrani (Pegasus), serta terjemahan karya itu. Negara penerima hadiah itu ditentukan bedasarkan rekomendasi panitia yang terdiri atas wakil-wakil dari sastrawan dan cendekiawan terkemuka, antara lain Paul Engle, Jonathan Kistler, L.E. Phillabaum, William Jav Smith, dan Gregory Vitillo, sedangkan panitia seleksi di setiap negara menetapkan pemenang untuk negara yang bersangkutan. Hadiah Pegasus ini bersifat internasional. Pertama, hadiah Pegasus ini diberikan kepada Sami Bindari dari Mesir pada tahun 1977 untuk karyanya yang berjudul The House of Power dan Sabri Moussa dengan karyanya Seeds of Corruption. Hadiah Pegasus yang kedua diberikan kepada Tidiane Thorup dari Denmark atas karyanya Baby. Hadiah Pegasus ketiga diberikan kepada Tidiane Dem dari Pantai Gading atas karyanya Masseni. Hadiah Pegasus keempat dimenangi Kees Nooteboom dari Belanda dengan novel berjudul Rituals. Novel Dan Perang Pun Usai karya Ismail Marahimin merupakan pemenang hadiah Pegasus kelima. Para penilai Hadiah Sastra Pegasus dari Indonesia ini terdiri atas Subagio Sastrowardoyo (Ketua), Boen S. Oemarjati, H.B. Jassin, Umar Kayam, dan Sapardi Djoko Damono sebagai anggota. Mereka mengadakan 9 kali rapat dengan menilai lebih dari 20 novel nomine. Panitia melakukan pemilihan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan Mobil Corporation, yaitu (1) novel harus merupakan karangan sastra Indonesia yang terbaik yang diterbitkan dalam dasawarsa terakhir; (2) novel harus menarik bagi para pembaca berbahasa Inggris; (3) novel itu belum pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris; dan (4) pengarang karya itu harus lancar berbahasa Inggris, sehingga dapat mempromosikan novelnya yang telah diterjemahkan itu kepada masyarakat Amerika. Berdasarkan kriteria itu, para juri memilih novel Ismail Marahimin yang berjudul Dan Perang Pun Usai sebagai pemenang Hadiah Pegasus 1984. Hadiah itu diserahkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, yang waktu itu dijabat oleh Prof. Dr. Nugroho Notosusanto di Hotel Hilton tanggal 31 Oktober 1984.","judul":"Hadiah_Pegasus (1977)","sumber":"http:\/\/ensiklopedia.kemdikbud.go.id\/sastra\/artikel"},{"id":"0b5ba","pengunggah":"elvan","kategori":"Karya sastra","konten":"Airlangga merupakan judul drama karangan Sanusi Pane yang ditulis pertama kali dalam bahasa Belanda dan diterbitkan secara bersambung pada tahun 1928 di dalam majalah Timboel. Drama ini kemudian diterjemahkan dari bahasa Belanda oleh Das Chall dan diterbitkan Balai Pustaka pada tahun 1985 (pada tahun 2003 mencapai cetakan kesepuluh). Airlangga adalah nama seorang raja di Jawa Timur yang memerintah pada tahun 1019\u20141049. Airlangga datang kepada Dharmawangsa untuk meminang putri Dharmawangsa. Pada saat itu terjadi serangan dari pasukan Raja Wurawari. Airlangga dapat melarikan diri dan ia selamat. Airlangga sebagai karya sastra adalah drama yang memanfaatkan fakta sejarah dan menampilkan tokoh sejarah untuk mengungkapkan gagasan kebangsaan secara terselubung. Drama itu mengisahkan perjuangan orang Indonesia, kerajaan yang ada di Indonesia, dan adat istiadat Indonesia pada masa lampau. Sanusi Pane menganggap bahwa dua dramanya yang ditulis dalam bahasa Belanda, yaitu Airlangga dan Eenzame Garoedavlucht pada hakikatnya melukiskan perjuangan individualisme Barat terhadap mistik yang terlihat berkat unsur Hinduisme, Budhisme, Sufisme, dan filsafat Jawa (Jassin, 1967). A. Teeuw (1978) menilai drama Airlangga sebagai perwujudan dari minat Sanusi Pane terhadap tema yang bersifat tradisional dan mengandung unsur sejarah walaupun Muhammad Yamin juga memunculkan drama Ken Arok dan Ken Dedes. Beberapa penulis buku pelajaran untuk SLTP dan SLTA menyebutkan bahwa Airlangga merupakan karya Muhammad Yamin bukan Sanusi Pane yang terbit pada tahun 1943. Buku-buku pelajaran tersebut antara lain Sari Kesusastraan Indonesia 1 (1984) yang disusun oleh J.S. Badudu, Kesusasteraan Indonesia 2 (1957) yang disusun oleh B. Simorangkir Simandjuntak, dan Seni Sastera Indonesia (1980) yang disusun oleh Asis Safioedin.","judul":"Airlangga (1928)","sumber":"http:\/\/ensiklopedia.kemdikbud.go.id\/sastra\/artikel"},{"id":"13443","pengunggah":"elvan","kategori":"Gejala Sastra","konten":"Banjir Roman\" merupakan judul artikel, atau sekurang-kurangnya bagian artikel yang mengungkapkan keprihatinan atas munculnya roman yang mengusung selera rendah dalam jumlah yang besar. Banjir roman menjadi suatu peristiwa yang merujuk pada sebuah kondisi penerbitan roman-roman di Medan sekitar tahun 1930-an\u25001940-an. Saat itu di kota Medan dan sekitarnya terbit roman-roman yang berisi kisah-kisah yang kemudian dikenal sebagai roman picisan. Sebenarnya, gejala penerbitan semacam itu telah ada sejak kita menggunakan aksara Latin, terutama dilakukan oleh kalangan peranakan Tionghoa. Namun, tampaknya baru menjadi persoalan penting ketika karangan jenis itu ditulis oleh pengarang-pengarang pribumi dan diterbitkan oleh penerbit partikelir dan dinyatakan oleh beberapa kritikus sastra bahwa jumlah roman-roman tersebut banyak sekali. Bukti bahwa telah terjadi \"banjir roman\" juga muncul dalam tulisan yang berjudul Volksbibliothek yang mengatakan bahwa \"sebagai salah seorang langganan dari Openbare bibliotheek, kita coba berkali-kali membolak-balik katalogus bibliotheek tersebut, akan tetapi akhirnya kita mendapat indruk bahwa 90% dari buku-buku yang tersedia di situ hanya buku-buku roman belaka dan cuma 10%, bahkan barangkali tidak cukup, yang bersangkutan dengan 'ilmu pengetahuan, sejarah, literatur, dan lain-lain.\" Pada artikel \"Memperkatakan Roman\" yang ditulis oleh Riphat S dan dimuat di majalah Pedoman Masjarakat, Nomor 3\/VI, 17 Januari 1940 disebutkan bahwa \"Benar sekali bahwa di kota Medan sedang hidup dengan suburnya majalah-majalah roman, sehingga ada yang sampai mempunyai oplaag 5.000 eksemplar sekali terbit sedang terbitan tiga kali sebulan jadi 1.500 eksemplar per bulan dan ada pula yang mempunyai oplaag 4.000 dan terbit dua kali sebulan, jadi 8.000 eksemplar sebulan dan ada pula yang lain-lain bahwa yang bakal menerbitkan masih ada tiga lagi\". Hal serupa juga muncul pada tulisan berjudul \"Di Sekeliling Soal Banjir Roman\" yang dimuat dalam majalah Pandji Islam, Nomor 6, 12 Februari 1940. Perdebatan mengenai \"banjir roman\" sendiri ada dalam beberapa majalah serta surat kabar yang terbit pada masa itu, antara lain Adil di Solo, Mutiara di Yogya, Al Lisan di Bandung, Pandji Poestaka di Betawi, S.K.I.S di Padang Panjang (Minangkabau), dan Pesat di Semarang. Selain itu, persoalan \"banjir roman\" ini memunculkan sebuah konferensi roman yang dihadiri oleh sebagian besar pengarang roman pada masa itu. Permasalahan yang menjadi perdebatan utama dalam majalah-majalah tersebut berkisar pada persoalan apakah banyaknya roman yang terbit pada masa itu menandai adanya kemajuan di bidang kesusastraan. Selain itu, yang diperdebatkan berkisar pada pantas dan tidaknya seorang ulama Islam atau pengarang yang berasal dari kalangan Islam menulis sebuah roman yang berisi adegan asyik masyuk. Perdebatan tersebut menghasilkan dua kubu yang berbeda. Kubu pertama merasa bangga akan kehadiran roman-roman tersebut karena menandai bahwa bangsa Indonesia sudah dapat mengungguli bangsa Tionghoa dalam bidang penerbitan roman. Kubu kedua memperingatkan bahwa roman-roman yang ditulis oleh pengarang-pengarang pribumi itu masih jelek mutunya dan cenderung hanya mementingkan nilai komersial. Kubu kedua juga mengkritik bahwa pengarang-pengarang Islam, apalagi ulamanya tidak pantas mengarang roman karena tidak sesuai dengan ajaran Islam. Hal tersebut ditentang oleh kubu pertama yang menyatakan bahwa pengusung tema-tema keislaman adalah pengarang-pengarang roman dari kalangan \"pujangga surau\". Hanya saja kubu pertama mengingatkan juga bahwa pengarang-pengarang Islam itu harus memahami batasan penulisan sebuah roman sebagaimana terdapat dalam tulisan yang berjudul \"Di Sekeliling Soal: Banjir Roman di Medan\" berikut. \"Bukan mereka tidak setuju kepada roman, tetapi tiap-tiap penulis roman haruslah mengingat akan batas-batas kesopanan Timur dan Islam dalam menciptakan bisikan sukmanya dan kesenian bahasanya. Bukan mereka tidak mengakui bahwa tiap-tiap bahasa yang maju mesti melahirkan bahasa yang indah yang satu dari jalannya ialah dengan roman yang banyak pula cabang dan caranya itu, tetapi mereka mengharap supaya kiranya tiap-tiap penulis mesti mengingat: baru di mana tingkatan bangsanya yang akan membaca buku-buku itu, dan harus berusaha supaya tiap-tiap karangannya itu dapat memberi pendirian yang baik kepada bangsanya.\"","judul":"Banjir_Roman","sumber":"http:\/\/ensiklopedia.kemdikbud.go.id\/sastra\/artikel"},{"id":"24a42","pengunggah":"elvan","kategori":"Hadiah\/Sayembara Sastra","konten":"Celebes Award merupakan penghargaan yang diberikan oleh Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan yang dikoordinasi oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Sulsel kepada seniman-seniman Sulsel yang berkecimpung di bidang sastra, seni tari, musik, teater, seni rupa, dan kritikus seni dan sastra. Pemberian Celebes Award ini pertama kali diadakan tahun 2000. Pada awalnya, penghargaan Celebes Award diberikan setiap tahun sekali dan rutin dilaksanakan sampai tahun 2005. Akan tetapi, sejak tahun 2006\u20142007 terjadi kevakuman. Hal ini sengaja dilakukan agar penilaian terhadap karya para seniman lebih objektif dan lebih mempertimbangkan kualitas. Sejak pemberian terakhir pada tahun 2005, pihak penyelenggara sepakat agar pemberian Celebes Award dilaksanakan setiap dua tahun sekali. Celebes Award bertujuan untuk mengapresiasi karya orang-orang yang berkecimpung di bidang seni untuk dapat memotivasi para seniman, khususnya seniman muda dapat lebih giat dalam berkarya. Penghargaan ini berupa uang dan tropi. Besarnya uang yang diberikan berkisar Rp4.000.000,00 (empat juta rupiah) atau lebih dan dewan juri yang terlibat adalah seniman (Badan Kerja sama Kesenian Indonesia) dan budayawan. Beberapa seniman dan budayawan yang terlibat dalam pemberian hadiah penghargaan Celebes Award antara lain A. Ummu Tunru, Yudistira Sukatanya, Prof. Dr. Sofyan Salam, M.Ed., dan Ishak Ngeljaratan. Kriteria penilaian dalam Celebes Award adalah (1) konsep berkesenian, yaitu catatan atau pemaparan landasan pikir dan wawasan ke masa depan dalam penciptaan karya sastra selama berkesenian, yang disampaikan secara tertulis; (2) karya cipta utama, yaitu daftar karya sastra-cipta utama, baik berupa puisi, novel maupun esai yang telah diciptakan sesuai dengan bidang konsentrasi seni sastra dan telah dimanfaatkan atau disaksikan oleh masyarakat; (3) karya tulis, yang karya yang berupa buku atau makalah utama atau terbaik, ulasan tentang sastra yang pernah disajikan dan akan lebih baik jika disertai dengan bukti; (4) piagam penghargaan, yaitu daftar piagam yang pernah diterima baik di tingkat daerah, nasional maupun internasional yang disertai dengan fotokopi piagam; dan (5) biodata, yakni catatan pribadi disertai riwayat berkesenian dan calon penerima Celebes Award yang berisikan nama, tempat tanggal lahir, agama, jangka waktu berkesenian, dan bidang konsentrasi seni sastra yang ditekuni. Pengarang atau sastrawan yang pernah mendapatkan penghargaan Celebes Award diantaranya adalah Arsal Alhabsyi, Yudistira Sukatanya, Udhin Palisuri, Ishak Ngeljaratan, Muhammad Ramli Ottoluwa, M. Anis Kaba, dan Aslan Abidin.","judul":"Celebes_Award (2000)","sumber":"http:\/\/ensiklopedia.kemdikbud.go.id\/sastra\/artikel"},{"id":"259b7","pengunggah":"elvan","kategori":"Hadiah\/Sayembara Sastra","konten":"Hadiah Majalah Kisah diberikan oleh majalah Kisah pada setiap tahun untuk karya sastra yang dianggap berbobot. Besar hadiah yang diberikan mula-mula Rp200,00. Pada tahun 1953 juri memberikan bundel majalah Kisah selama satu tahun kepada para pemenang. Hadiah majalah Kisah pada tahun 1953 sebesar Rp500,00, tahun 1954 berubah menjadi Rp800,00 Juri memutuskan bahwa hasil tulisan para juri tidak diikutsertakan sebagai peserta sayembara, misalnya karya Idrus yang seharusnya berhak menang, tidak dapat diperhitungkan karena Idrus sebagai dewan juri majalah umum itu yang banyak memuat karyanya. Majalah Kisah hanya menilai karya sastra berbahasa Indonesia. Dalam penilaian itu majalah Kisah menunjuk (1) M. Balfas; (2) H.B. Jassin; dan (3) Idrus sebagai dewan juri. Mereka tidak ketat dalam penilaian, juara I, II, dan II dianggap sama sehingga besar hadiahnya pun sama. Pada tahun 1955, setelah mengumumkan pemenang sayembara, dewan juri juga mengumumkan beberapa penulis andal sebagai pemacu para penulis lainnya, seperti karya S.M. Ardan, Andrea A'xandre Leo, A. Rossidhi, Amyus Nn., Nh. Dini, dan Yusach Ananda. Pemenang tahun 1953 adalah (1) \"Santapan\" karya Vincent Mahieu, dalam Kisah No. 2, Th. I; (2) \"Musim Gugur\" karya Mochtar Lubis, dalam Kisah, No. 3, Th. I; (3) \"Kampungku yang Sunyi\" karya Yusach Ananda, dalam Kisah, No. 4, Th. I; dan (4) \"Perpisahan\" karya Gajus Siagian, dalam Kisah, No. 6, Th. I. Pemenang Hadiah Majalah Kisah tahun 1954 adalah (1) \"Catatan di Kampung Kelahiran\" karya Yusah Ananda dalam Kisah, Th. II; (2) \"Memalui Bola\" karya Rijanto Pratikto dalam Kisah, Th. II; (3) \"Toga Sibaganding\" karya Aris Siswo dalam Kisah Th. II; dan (4) \"Lukisan Dinding\" karya M. Alwan Tafsiri dalam Kisah Th. II. Pemenang sayembara tahun 1955 adalah (1) \"Kedjantanan di Sumbing\", (hadiah I) karya Subagio Sastrowardojo, dalam Kisah No. 8, Agustus 1955, Th. III; (2) \"Robohnya Surau Kami\" (hadiah II) karya A.A. Navis, dalam Kisah, No. 5, Mei 1955, Th. III; (3) \"Buaya dan Dukunnya\" (hadiah III) karya Sobron Aidit, dalam Kisah, No. 3, Maret 1955, Th. III. Karya unggulan lainnya pada tahun 1955 yang tidak mendapat hadiah, antara lain, adalah (1) \"Bulan Sabit di Langit Barat\" karya S.M. Ardan, dalam Kisah, No. 2, Februari 1955, Th. III; (2) \"Kisah dari Negara Kambing\" bag. II karya Andrea A'Xendra Leo dalam Kisah, No. 3, Maret 1955. Th. III; (3) \"Krisis Kesusastraan di Repbulik Antah Berantah\" karya A. Rossidhy dalam Kisah, No. 3, Maret 1955, Th. III; (4) \"Hantu Racun\", karya Amyus Nn. dalam Kisah, No. 1, Januari 1955. Th. II; (5) \"Jataju\" karya Nh. Dini dalam Kisah, No. 7, Djuli 1955. Th. III; dan (6) \"Almarhum Ajahku\" karya Yusach Ananda, dalam majalah Kisah, No. 3, Maret 1955. Th. III. Pemenang Hadiah Majalah Kisah tahun 1956 adalah (1) \"Tunggul\" karya Trisnojuwono, dalam Kisah No. 7--8, Djuli--Agustus 1956. Th. V; (2) \"Jika Hujan Turun\" karya J.E. Siahaan, dalam Kisah No. 10, Oktober 1956, Th. IV; (3) \"Ia Punya Leher yang Indah\", dalam Kisah No. 4, April 1956, Th. IV. Penyelenggaraan sayembara karya sastra dilakukan setiap tahun sejak tahun 1953--1956. Pada tahun 1957 majalah Kisah hanya terbit hingga bulan Maret sehingga belum sempat mengadakan penilaian sastra.","judul":"Hadiah_Majalah_Kisah (1953)","sumber":"http:\/\/ensiklopedia.kemdikbud.go.id\/sastra\/artikel"},{"id":"29fe1","pengunggah":"elvan","kategori":"Media Penyebar\/Penerbit Sastra","konten":"Harian Analisa yang terbit setiap hari dikeluarkan di Medan di bawah penerbit PT Media Warta Kencana. Harian ini memiliki SIUPP berdasarkan SK Menpen No. 023\/ SK\/ Menpen\/ SIUPP\/A.7\/1985, dengan alamat kantor Jalan Balai Kota No.2 Medan. Saat pertama kali terbit, harian Analisa berbentuk tabloid. Meskipun Surat Izin Terbit (SIT) berlaku untuk harian, tetapi sekitar setahun Analisa terbit sebagai mingguan pada setiap hari Sabtu. Ketika itu surat kabar tersebut masih dicetak secara hand-set. Sejak tanggal 21 Maret 1973, Analisa sepenuhnya sebagai harian yang terbit tujuh kali seminggu dan bentuknya bukan lagi tabloid, melainkan broadsheet. Pemilihan nama bukanlah hal yang mudah. Menjelang kelahirannya, pemilihan nama dirembugkan. Soffyan mengusulkan nama Analisa, Narmin Suti mengajukan nama Tinjauan, dan A. Manan Karim menyarankan nama Sikap. Akhirnya, dengan kesepakatan bersama, dipilihlah nama Analisa, sedangkan jenis huruf dipilih oleh F.N. Zainoeddin. Harian Analisa terbit dengan moto: Membangkitkan Partisipasi Rakyat dalam Pembangunan. Pemimpin redaksi yang pertama adalah F.N. Zainoeddin. Beliau meninggal dunia pada 18 April 1972. Penggantinya, sebagai pemimpin redaksi hingga sekarang adalah Soffyan. Wakil pemimpin redaksi adalah Narmin Suti dan A. Manan Karim. Namun, A. Manan Karim juga telah tiada sejak tahun 1983 sehingga digantikan oleh Ali Soekardi. Narmin Suti juga telah meninggal dunia pada 8 Maret 1995. Patut dicatat bahwa pada saat menjadi harian penuh, Analisa merupakan harian pertama di daerah ini yang terbit dengan 8 halaman kemudian menjadi 12 halaman sejak September 1973, dan meningkat lagi menjadi 16 halaman sejak Oktober 1991. Dampak krisis ekonomi pada tahun 1997, antara lain, adalah harga kertas \"meningkat\" sehingga mengakibatkan harian Analisa melakukan \"penyesuaian\" penerbitan dengan kondisi tersebut, yakni \"terpaksa\" terbit 12 halaman lagi. Kini harian Analisa terbit 24 sampai 32 halaman dan pada edisi tertentu terbit hingga 36 halaman. Harian Analisa menyajikan berita-berita dari dalam negeri, antara lain berita nasional, kota Medan, daerah Aceh dan Sumatra Utara. Tidak ketinggalan pula, berita luar negeri, berita ekonomi dan olahraga juga diutamakan untuk pembaca. Selain itu, turut disajikan rubrik keagamaan, yakni agama Islam, Kristen, dan Budha serta sajian foto-foto khusus aneka peristiwa. Dalam edisi minggu, rubrik khusus disajikan kepada pembaca, di antaranya pariwisata, jentera, musik, taman riang, dan budaya. Rubrik budaya harian Analisa yang telah ada sejak tahun 1973 tidak hanya memuat tulisan mengenai sastra, tetapi juga tentang musik, drama, dan kebudayaan secara umum dan sebagai pelopor rubrik budaya sekaligus redaktur budaya Analisa pertama kali adalah Ali Soekardi. Pada awal tahun 1974 terjadi pergantian redaktur budaya dari Ali Soekardi kepada Dali Katadaus. Pergantian ini juga memunculkan perubahan pada rubrik budaya harian Analisa yang kemudian diberi nama Rebana. Perubahan yang terjadi, terutama pada fokus, yang mengkhususkan diri pada tulisan-tulisan sastra. Sejak saat itu hingga sekarang boleh dikatakan bahwa harian Analisa merupakan satu-satunya surat kabar di Medan yang masih tetap mempertahankan ruang budaya. Menurut Ali Soekardi hal yang memotivasi dibukanya rubrik Rebana adalah untuk memberi kesempatan kepada para sastrawan supaya mereka dapat menuangkan ide-ide dan inspirasinya dalam berkarya. Ada sejumlah nama yang pernah tampil sebagai redaktur rubrik Rebana, yaitu Ali Soekardi, Dali Katadaus, Zakaria M. Pase, Buoy Hardjo, dan Idris Pasaribu. Tercatat sejumlah nama sastrawan Sumatra Utara yang pernah menulis di rubrik Rebana di antaranya Damiri Mahmud, Harta Pinem, Thomson Hs, Yulhasni, Raudah Jambak, dan Hasan Al Banna. Di samping berbagai rubrik yang ada, kritik segar yang juga menggelitik sengaja ditampilkan di harian Analisa melalui pojok \"Guit Deli\" serta tokoh kartun \"Pak Tuntung\" dengan tingkahnya yang penuh humor dan menyindir. Hingga saat ini, redaksi harian Analisa tetap memperhatikan kualitas berita, artikel, dan foto. Tidak mengherankan, jika sejak terbit hingga sekarang, harian Analisa telah memperoleh penghargaan dari berbagai pihak, termasuk prestasi karya wartawannya untuk tingkat daerah, nasional, regional, dan internasional. Sebagai media massa yang dekat dengan masyarakat, harian Analisa peduli terhadap kegiatan sosial kemasyarakatan, kemanusiaan, keolahragaan, keagamaan, dan kemahasiswaan, yakni memberi kesempatan pada Perguruan Tinggi Negeri\/Swasta untuk melakukan penelitian sebagai tugas akhir program diploma (D1, D2, atau D3), penyusunan skripsi (S1\/Sarjana), dan program pascasarjana, khususnya untuk program studi ilmu jurnalistik, komunikasi, dan kehumasan.","judul":"Analisa (1985-\u2026)","sumber":"http:\/\/ensiklopedia.kemdikbud.go.id\/sastra\/artikel"},{"id":"4760d","pengunggah":"elvan","kategori":"Karya sastra","konten":"Aki merupakan novel yang ditulis Idrus dan pertama kali diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1950 dengan tebal 45 halaman. Novel ini bercerita tentang seorang lelaki bernama Aki pengidap tuberculosis akut yang pada usia 29 tahun sudah tampak seperti berusia 40 tahun. Ia dikenal sebagai pekerja yang serius. Pada suatu malam ia meramalkan bahwa kematiannya akan tiba pada tanggal 16 Agustus. Istri, anak, dan semua rekan kerjanya mempercayainya. Namun, Aki tetap bekerja dengan sungguh-sungguh. Saat tanggal kematian yang diramalkannya tiba, Aki tertidur pulas dan istrinya, Sulasmi, menyangka bahwa Aki sudah meninggal. Namun, saat semua orang masuk ke kamarnya ternyata Aki sedang duduk sambil merokok, mereka berlarian keluar rumah ketakutan karena beranggapan bahwa yang mati hidup kembali. Sulasmi dan kedua anaknya bersyukur karena Aki tidak jadi mati. Ramalan yang pernah diucapkan Aki meleset, tetapi semenjak itu Aki berubah sikap. Ia menjadi seorang yang berpenampilan jauh lebih muda dari usia sebenarnya. Ia kuliah lagi dengan cita-cita bahwa hidupnya akan diabdikan untuk kepentingan ilmu dan pekerjaannya. Pamusuk (1982) menegaskan bahwa ketika orang memikirkan mati dan tak bernafsu untuk hidup, orang cenderung pesimis, tak bergairah. Akan tetapi, apabila ingin mempertahankan hidup, orang cenderung untuk bersikap optimis. Teeuw (1980) dalam bukunyan Sastra Baru Indonesia Jilid 1 menyatakan bahwa roman pendek Idrus yang paling baik adalah Aki karena leluconnya yang ringan, yang dibiarkan berkembang sepenuhnya, dan temanya yang tidak bersifat >real. Sementara itu, H.B. Jassin dalam bukunya Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai Jilid 2 (1967) menyatakan bahwa Idrus dengan karyanya Aki tidak saja pandai dalam bercerita, tetapi melalui karya ini Idrus ingin menyampaikan sesuatu, yakni nilai-nilai kehidupan yang merupakan pandangan hidup pengarangnya. Idrus melalui karyanya ini menyampaikan kepada kita pertanyaan-pertanyaan dan jawaban-jawaban yang kita sendiri ingin tanyakan dan kita sendiri ingin jawab. Komentar pemerhati terhadap novel tersebut lebih terpumpun pada tema yang memang aneh. Ihwal orang yang meramalkan hari kematiannya menunjukkan bahwa, dalam konteks kehidupan sosial budaya pada zamannya, kehadiran novel karya Idrus itu memberikan pesan perlunya sikap optimis menghadapi carut-marut kehidupan selepas revolusi kemerdekaan.","judul":"Aku (1950 )","sumber":"http:\/\/ensiklopedia.kemdikbud.go.id\/sastra\/artikel"},{"id":"4c0c4","pengunggah":"elvan","kategori":"Pengarang","konten":"A. A. Pandji Tisna mempunyai nama lengkap Anak Agung Nyoman Pandji Tisna. Ia lahir tanggal 11 Februari 1908 dan meninggal dunia tanggal 2 Juni 1978 di Buleleng, Singaraja, Bali. A.A. Pandji Tisna dikenal sebagai seorang novelis. Karyanya yang terkenal dan mengangkat namanya sebagai seorang pengarang adalah Sukreni Gadis Bali. A.A. Pandji Tisna adalah putra ketiga dari lima bersaudara, kakaknya dua orang (perempuan), dan adiknya dua orang (laki-laki). Ayahnya bernama Anak Agung Putu Djelantik, Raja Buleleng X dan ibunya bernama Mekele Jero Rengga sedangkan kakeknya bernama I Gusti Putu Gria (Raja Buleleng IX), penulis buku Darmo Lelangon, sebuah kisah bergambar tanpa kata. Sebagai putra laki-laki pertama dari istri pertama seorang raja, A.A. Pandji Tisna berhak menerima warisan takhta kerajaan Buleleng. Sebagai putra priyayi, A.A. Pandji Tisna sempat mengenyam pendidikan yang cukup baik. Dia bersekolah di Hollandsche Inlanders School (HIS). Pada usia lima belas tahun ia dikirim ke Batavia untuk bersekolah di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Di sekolah itu ia belajar bahasa Belanda, bahasa Inggris, bahasa Jerman, dan bahasa Prancis. Pada tahun kedua di MULO (1925), ia dipanggil pulang ke Singaraja untuk menikah dengan kemenakannya, Anak Agung Byang Manik. Dari perkawinan itu ia mempunyai dua orang anak laki-laki. Tahun 1929 Pandji Tisna menikah yang kedua kalinya dengan Mekele Seroja. Dari perkawinan kedua itu ia dikaruniai tiga orang anak. Tahun 1936 Pandji Tisna menikah yang ketiga kalinya dengan Mekele Sadpada, dan mempunyai dua orang anak laki-laki. A.A. Pandji Tisna menikah keempat kalinya dengan Mekele Resmi pada tahun 1950 dan dari perkawinan keempatnya itu ia mempunyai enam orang anak. A.A. Pandji Tisna tidak menyelesaikan pendidikannya di MULO. Konsentrasinya terganggu sejak pernikahannya pada tahun 1925 karena istrinya tidak ikut bersama ke Jakarta. Dia cenderung memperdalam penguasaan bahasa asing yang sangat berguna baginya untuk ke luar negeri, di samping melakukan studi mengenai sejarah Bali yang banyak menggunakan literatur dalam bahasa asing (Yon Ks., 1992). Dengan modal bahasa Belanda, Inggris, Jerman, dan Prancis yang dikuasainya secara aktif, ia mendalami bahasa Sanskerta. Hal itu terdorong oleh kegemarannya pada kakawin dan minatnya untuk memperdalam isi lontar di perpustakaannya. Tahun 1936 ia gagal pergi ke Wina karena mendapat serangan radang mata di Singapura sehingga terpaksa kembali ke tanah air. Namun, sepuluh tahun kemudian ia akhirnya berangkat ke Eropa. Dia pergi ke Utrecht untuk mengobati matanya, tetapi tidak berhasil. Tahun 1949 ia pergi lagi ke Eropa atas undangan STICUSA, suatu organisasi yang bertujuan untuk meningkatkan kerja sama seni dan kebudayaan antara Belanda dan Indonesia (Yon Ks.,1992:97). Sebagai keturunan raja, A.A. Pandji Tisna seyogianya memangku jabatan sebagai warisan dari orang tuanya. Akan tetapi, berkali-kali ia menolak pengangkatan itu. Tahun 1939 ayahnya dapat memahami apa yang menjadi keyakinan putranya untuk menjadi orang biasa saja dan tidak ingin menggantikannya sebagai raja. Sekembali dari Jawa (Batavia) akibat studinya gagal, tahun 1927 A.A. Pandji Tisna membantu ayahnya sebagai sekretaris pribadi yang dilakukannya dengan setengah hati. Oleh karena itu, pada tahun 1929 ia diberhentikan oleh ayahnya. Dia kemudian ditugaskan ke Lombok untuk bekerja dalam bidang angkutan. Tahun 1935 ia kembali ke Singaraja dan menyampaikan maksudnya untuk terjun ke dunia ekspor kopra dan sapi, tetapi ditolak oleh ayahnya. Ayah Pandji Tisna mangkat tahun 1945. Ketika itu Jepang sedang berkuasa di Bali. Dia dipaksa menjadi raja menggantikan ayahnya (25 April 1945) meskipun pada awalnya menolak dengan berbagai alasan. Ternyata, ia hanya dijadikan alat bagi Jepang untuk mencarikan perempuan yang akan dipersembahkan kepada serdadu Jepang. Hal itu dirasakannya sebagai penghinaan. Untunglah, Jepang segera kalah. Sebagai ketua Paruman Raja-Raja di Bali tahun 1946, ia mempunyai tugas yang lebih berat. Jabatan tersebut dan juga keanggotaannya dalam Parlemen Negara Indonesia Timur diterimanya tahun 1947. Akan tetapi, pada tahun 1948 jabatan-jabatan tersebut dilepaskannya. Pada tahun itu juga ia pergi ke India. Sekembali dari India, ia berupaya memajukan rakyat melalui pendidikan. Untuk itu, tanggal 2 Agustus 1948 ia mendirikan Perguruan Bhaktiyasa (SLTP dan SLTA di Singaraja) dan Perpustakaan Udiyana Adnyna Bhuwana. A.A. Pandji Tisna juga pernah menjabat sebagai pemimpin redaksi majalah Jatayu yang diterbitkan oleh Perkumpulan Bali Dharma Laksana. Sesudah itu, ia diangkat menjadi Kepala Swapraja Buleleng pada tahun 1950 dan menjadi anggota DPR RIS Jakarta tahun 1951. Kedua jabatan itu segera dilepaskannya karena ia berangkat lagi ke India. A.A. Pandji Tisna berpindah agama dari Hindu ke Kristen pada hari ulang tahunnya yang ke-38, 11 Februari 1946. Dia dikristenkan di bawah pohon beringin di Desa Seraya oleh pendeta A.F. Ambessa, Kantoha, dan Trimurti. Perpindahan agama itu berakibat fatal. Dia harus meninggalkan jabatannya sebagai raja dan haknya sebagai ahli waris. Setelah mengundurkan diri dari semua jabatan dan meninggalkan kebangsawanannya, ia hidup berkebun jeruk di Pantai Lovina sambil mengelola sebuah hotel kecil bernama Tasik Madu. Dalam bidang kesusastraan A.A. Pandji Tisna menulis prosa, puisi, dan drama. Karya-karyanya, antara lain, adalah (1) Ni Rawit, Ceti Penjual Orang, cetakan pertama tahun 1935 diterbitkan di Jakarta oleh Balai Pustaka, (2) Sukreni Gadis Bali, cetakan pertama tahun 1936 diterbitkan di Jakarta oleh Balai Pustaka, (3) I Swasta Setahun di Bedahulu, cetakan pertama tahun 1938 diterbitkan di Jakarta oleh Balai Pustaka, (4) Dewi Karuna: Salah Sebuah Jalan Pengembaraan Dunia, cetakan pertama tahun 1941 diterbitkan di Medan oleh Fa. Cerdas, (5) I Made Wiiadi: (Kembali kepada Tuhan), cetakan pertama tahun 1955 diterbitkan di Jakarta oleh Badan Penerbit Kristen. Puisinya, antara lain, \"O, Putri!\", \"Antara\", \"Air Mata\", dan \"Arti Berlapis\" dimuat dalam majalah Pujangga Baru tahun 1937, dan (6) \"Jiwa Seragam\" berbentuk naskah drama tahun 1954. Dalam roman-romannya A.A. Pandji Tisna sangat memperhatikan masalah hukum karma dan masalah sosial masyarakat Bali. Menurut Ajip Rosidi dalam bukunya yang berjudul Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (1978:10), di tengah-tengah banjirnya roman-roman adat yang ditulis para pengarang asal Sumatra, yang juga mengambil Sumatra sebagai latar ceritanya, roman-romannya sangatlah menarik. Bukan hanya karena mengisahkan orang Bali dengan kehidupan dan kepercayaannya, melainkan juga karena gaya bahasa yang digunakannya agak berbeda dari gaya bahasa para pengarang kelahiran Sumatra. Yang menarik ialah bahwa tokoh-tokoh roman Pandji Tisna terasa lebih keras dan lebih keja\u00a0","judul":"A_A_Pandji_Tisna ( 1908-1978 )","sumber":"http:\/\/ensiklopedia.kemdikbud.go.id\/sastra\/artikel"},{"id":"6e5b5","pengunggah":"elvan","kategori":"Gejala Sastra","konten":"Cerita detektif memiliki ciri khas, yaitu ragam cerita yang mengungkapkan rahasia suatu pembunuhan. Dalam cerita detektif pertama-tama harus ada mayat atau peristiwa kematian sebagai hasil kejahatan (crime) atau pembunuhan. Untuk mencapai efek ketegangan, dalam alur pokok cerita detektif selalu diselingi flashback, yakni secara bertahap diperlihatkan apa yang menjadi motif pembunuhan dan siapa pelakunya. Dalam proses pengungkapan rahasia itu terlebih dulu diciptakan konflik berupa kesimpangsiuran atau keragu-raguan tentang siapa pelaku pembunuhan. Setiap orang yang pernah berhubungan dengan korban tak luput dari sasaran kecurigaan. Di akhir cerita baru ditunjukkan bahwa ternyata pelaku pembunuhan bukan orang yang disangka-sangka. Ia bisa orang terdekat dengan korban, salah satu anggota keluarganya, anak wayang yang belum balig, orang yang sudah tua renta, dan sebagainya dengan berbagai alasan yang sangat berkaitan dengan kejiwaan yang mengalami gangguan (pathologist). Cerita detektif klasik yang sudah mendunia, antara lain rangkaian seri cerita James Bond karya Ian Fleming dan seri petualangan detektif karya Sir Arthur Conan Doyle berjudul Sherlock Holmes. Dalam bacaan populer Indonesia pada tahun 50-an pernah dikenal tokoh detektif dalam buku Patjar Merah kaya Njoo Cheong Seng dan seri karya S. Mara. G.D. yang tumbuh sejak tahun 80-an. Apabila meninjau sejarah kesusastraan Indonesia maupun daerah (Jawa, Sunda) masing-masing pernah memiliki karya bercorak cerita detektif. Suman H.S. pada masa-masa awal pertumbuhan sastra Indonesia pernah menghasilkan karya novel berjudul Mencari Pencuri Anak Perawan yang dinilai para kritikus sebagai salah satu contoh cerita detektif. Selain itu, sebuah novel berjudul Tjintjin Stempel karya Ardisoma yang terbit tahun 1930-an juga dianggap sebagai karya sastra dari ragam cerita detektif. Dalam kesusastraan Sunda pernah ditulis novel berjudul Laleur Bodas 'Lalat Putih' karya Samsu dan Si Bedog Panjang 'Si Golok Panjang' karya Ki Umbara, saduran dari cerita detektif dalam bacaan berbahasa Belanda. Kedua novel itu juga dinilai sebagai cerita detektif. Cerita Detektif lain adalah karya Agatha Christie, diantaranya (1) Anjing Kematian, (2) Gadis Ketiga, (3) Kenangan Kematian, (4) Mawar Tak Berduri, (5) Mereka Datang ke Bagdad, (6) Misteri Burung Hitam, (7) Misteri Kereta Api Biru, (8) Pembunuhan di Lorong, (9) Pembunuhan di Wisma Pendeta, (10) Pena Beracun, (11) Perjanjian dengan Maut, (12) Rumah di Tepi Kanal, (13) Skandal Perjamuan Natal, dan (14) Tiga Belas Kasus. Kehadiran buku pertama cerita detektif karya Yokie, Detective Diary (DD), disambut positif. Buku tersebut diterbitkan oleh Gagas Media, Jakarta, cetak I tahun 2004- tebal VIII\u20142227. Tokoh cerita adalah peran pembantu yang sama. Tokoh detektif tersebut bernama Javit Adityo, seorang pemuda bertubuh kecil, berkacamata minus, dan berstatus sebagai mahasiswa Fakultas Hukum di sebuah universitas di Depok. Yokie mulai menulis komik sejak sekolah dasar, tetapi baru tahun 2003 ia menulis DD. Sebelum itu, Yokie aktif menulis cerita detektif di buletin kampus Iqro. Oleh karena itu, sebagian besar kisah ceritanya merupakan kumpulan dari tulisan lepas-lepas yang pernah terbit dalam Iqro. Cerita Yokie ini juga cocok untuk jenis pembaca yang tidak punya waktu membaca novel panjang, tetapi ingin membaca kisah dan kasus-kasus pendek yang cepat terungkap dalam 10\u201420 halaman. Dalam cerita detektif hal penting yang tidak boleh dilupakan adalah motif pelaku. Sebagai upaya menyajikan alternatif lokal, karya perdana Yokie ini patut dihargai.","judul":"Cerita_Detektif","sumber":"http:\/\/ensiklopedia.kemdikbud.go.id\/sastra\/artikel"},{"id":"715c2","pengunggah":"elvan","kategori":"Media Penyebar\/Penerbit Sastra","konten":"Adil semula merupakan harian kemudian menjadi mingguan berita yang memuat karya sastra, seperti cerita pendek, sajak, dan cerita bersambung. Mingguan Adil diterbitkan pertama kali pada 1 Oktober 1932, dikelola oleh PT Adil, dan beralamat di Kartodipuran, Nomor 102, Solo, Jawa Tengah. Penerbitan mingguan ini merupakan amanat muktamar Muhammadiyah di Makassar yang memberikan tugas kepada Muhammadiyah Cabang Solo. Mulyadi Djoyomartono, sebagai konsul Muhammadiyah Solo dalam Muktamar Muhammadiyah di Makasar ditunjuk sebagai direktur. Syamsudin Suta Makmur menjadi pemimpin redaksi, redaktur Suyitno serta Surono Wirahardjono sebagai korektor. Prof. Dr. Hamka adalah salah seorang pelindung majalah ini kemudian dilanjutkan oleh KHR. Djarnawi Hadikusumo. Majalah ini mempunyai moto \"Pengemban Amanat Allah-Umat\". Motivasi kelahirannya adalah mengemban dan menjalankan ajaran Allah. Para pengelolanya pertama kali, selain Prof. Dr. Hamka, tercatat H. Surono Wirohardjono yang awalnya korektor kemudian menjadi pemimpin umum, Sumanto, B.A. sebagai wakil pemimpin umum, Mardjono, sebagai sekretaris redaksi, dan Ichwan Dardiri sebagai pemimpin redaksi. Beberapa staf redaksi yang tercatat pada waktu itu adalah S.W. Wijaya, Sardjono, dan M. Dalyono. Mingguan Adil berukuran 27,5 x 19,5 cm dan mempergunakan kertas koran. Dengan tampilan sampul yang terbuat dari kertas tebal dan berkilat, majalah ini dapat dipasarkan secara nasional hingga mencapai Jakarta, Padang, dan Medan. Berdasarkan surat pembaca yang datang dari berbagai kota, antara lain, dari Brebes, Klaten, Purworejo, Waleri, Cepu, Ngawi, Bojonegoro, Solo, Aceh, Ngawi, Purbalingga, Yogyakarta, Kalimantan Selatan, Wonogiri, dan Babat dapat dipastikan bahwa majalah Adil sudah tersebar di seluruh Indonesia. Mingguan ini memuat beberapa rubrik penting, yaitu sastra, agama, politik, ekonomi, kesehatan, pendidikan, sejarah, cerita bergambar, olahraga, dan iklan. Rubrik sastra mendapat tempat yang baik. Hal itu terbukti dari banyaknya karya sastra yang dimuat di dalam majalah ini. Selain puisi, cerita pendek, dan cerita bersambung, juga dimuat kritik sastra. Rubrik sastra yang memuat karya sastra dengan sangat pesat terlihat pada tahun 1970-an, terutama pada tahun 1975, yang merupakan tahun ke-43 kelahiran majalah Adil. Pada tahun 1975 tercatat ada 6 buah cerita pendek, 8 buah sajak, dan 1 buah kritik dan esai. Nama-nama sastrawan muncul dalam majalah ini, seperti S. Harjo, M. Wiraguno, Wahyu Sumarto, Soempoennowati, Zaini Ali, Imam Sidikin, Thamzir, Rika Yst., M. Akbar, Kingking Subyarsih, Harum Ar., Mohia Sri Martha Vienata, Bagyo Sucahyo, A. Mahmud, Bambang Sutrisno, Joko Susilo, Farindi N. Abdulghofar, Noer Hamidy Th., dan Toto Yulliandy. Mingguan Adil terbit secara berkala dua minggu sekali (dwimingguan) setiap tanggal 1 dan tanggal 15, dengan pembaca sasarannya khalayak umum, terutama kelas menengah dan atas. Cara menjaring artikel yang akan dimuat adalah dengan menyebutkan bahwa redaksi majalah Adil bersedia menerima sumbangan naskah, artikel, foto-foto, dll. yang bermutu. Selain itu, juga disebutkan bahwa dan redaksi berhak mengubah naskah-naskah tersebut bila perlu. Naskah-naskah yang tidak dimuat akan dikembalikan bila disertai perangko secukupnya. Harga majalah per eksemplar adalah Rp500,- dan langganan Rp1.000,- sebulan. Jenis karya sastra yang berbentuk cerpen banyak dimuat dalam majalah ini, antara lain (1) \"Dosa kepada Orang Tua Siksanya di Atas Dunia\" karya Dibdjo, No. 12, Th. 44, Oktober 1976; (2) \"Jalan Keluar\" karya Mansur Samin, No. 14, Th. 48, 1 Juni 1980; (3) \"Moral di Atas Materila\" karya Is dan Adi, No. 2, Th. 46, 1 Mei 1979; (4) \"Es-Es-Manis Manis\" karya Probo Wahyono, No. 13, Th. 48, Mei 1980; (5) \"Hukum Karma\" karya Yossie Sinatra, No. 15, Th. 48, Juli 1980; (6) \"Jasa Pengemis Tua\" karya Ry Fernandez, No. 15, Th. 48 Juli 1980; (7) \"Cermin Baru\" karya Misnarni, No. 16, Th. 48, Juli 1980; (8) \"Tangis Idul Fitri\" karya Probo Wahyono, No. 17, Th. 48, Agustus 1980; (9) \"Karena Sandal Tertukar\" karya Rasyid Akabar, No. 2, Th. 50, Oktober 1981; (10) \"Ulang Tahun Seorang Papa\" karya Hadziq S., No. 12, Th. 50, Maret 1982; (11) \"Serumpun Bunga untuk Mama\" karya Susilowati, No. 2, Th. 53, Januari 1985; (12) \"Kasih di Atas Bukit\" karya Rasyid Akbar, No. 4, Th. 53, Februari 1985; (13) \"Aku Harus Bersyukur\" karya Piek Ha Es, No. 13\/14, Th. 53, Juli 1985. Sementara itu, puisi-puisi yang dimuat dalam majalah ini, antara lain adalah (1) \"Taqwa\" karya Ssiwadi, No. 2, Th. 46, 1 Mei 1979; (2) \"Israq Mikraj\" karya Toto Yulliady, No. 6, Th. 47, Juni 1979; (3) \"Pahlawan\" karya M. Akbar, No. 1, Th. 45, November 1976; (4) \"Pahlawan\" karya Toto Yulliady, No. 2, Th. 48, Oktober 1979; (5) \"Kehadiran\" karya Adinda, No. 4, Th. 46, Desember 1977; (6) \"Puisi untuk Tuhan\" karya Sutasari, No. 16, Th. 48, Juli 1980; (7) \"Sendu Ibu\" karya Wellen So, No. 17, Th. 48, Agustus 1980; (8) \"Jeritan Penderitaan\" karya Lela Mazidah, No. 2, Th. 53, Januari 1985; (9) \"Bila Jiwa Hampa\" karya Piek Ha Es, No. 13\/14, Th. 53, Juli 1985. Jenis rubrik esai sastra juga dimuat dalam majalah ini, antara lain (1) \"Ayip Rosidi Cari Muatan\" karya Yulliady, No. 9, Th. 45, Juni 1977; (2) \"Lakon \"Salome\" di Gedung Stuttart Opera\" karya M. Akbar, No. 9, Th. 45, Juni 1977; (3) \"Puisi-Puisi Mengiring Kepergian Pak Hatta\" karya T.Dj., No. 14, Th. 48, Juni 1980; (4) \"Amir Hamzah yang Tak Melupakan Tuhan\" karya Toto Yulliady M.Z., No. 13, Th. 48, Mei 1980.","judul":"Adil ( 1932-1985)","sumber":"http:\/\/ensiklopedia.kemdikbud.go.id\/sastra\/artikel"},{"id":"7e31c","pengunggah":"elvan","kategori":"Pengarang","konten":"A. A. Navis, yang nama lengkapnya Ali Akbar Navis, lahir di Kampung Jawa, Padang Panjang, Sumatra Barat pada 17 November 1924 dan meninggal pada 22 Maret 2003 di Padang setelah menjalani perawatan di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita Jakarta. A. A. Navis menikah dengan Aksari Yasin tahun 1957 dan dikaruniai tujuh orang anak, yaitu Dini Akbari, Lusi Bebasari, Dedi Andika, Lenggogini, Gemala Ranti, Rinto Amanda, dan Rika Anggraini. Julukan yang diberikan pada Navis adalah \"pencemooh nomor wahid\" dan \"sastrawan satiris ulung\". Julukan itu muncul dalam berbagai tulisan tentang Navis, antara lain sebagaimana yang muncul dalam majalah Sastra, Volume I, Edisi 3 Juli 2002. Gelar sebagai \"pencemooh nomor wahid\" atau \"satiris ulung\" itu tentu saja berkorelasi dengan gaya penulisan dan penggambaran karakter tokoh-tokoh yang kritis terhadap berbagai persoalan kehidupan dalam karya-karyanya. Sejak cerpen pertamanya \"Robohnya Surau Kami\" terbit dalam majalah Kisah tahun 1955, Navis mengejutkan pembaca sastra Indonesia dengan sindiran yang amat tajam terhadap pelaksanaan kehidupan beragama, disusul dengan novelnya yang berjudul Kemarau (1967). Novel ini menggambarkan bagaimana konyolnya manusia-manusia dalam menghadapi cobaan dari Tuhan, yaitu kemarau yang panjang. Penggambaran seperti itu muncul lagi dalam cerpennya yang berjudul \"Jodoh\". Berbagai cemoohan terhadap tradisi, takhyul, rendahnya kedudukan perempuan, serta gaya hidup hedonis dengan menghamburkan uang untuk perhelatan sebagai \"keharusan sosial\" juga mewarnai karya-karyanya. Setelah menamatkan pendidikan terakhir di Perguruan Indonesche Nederlandsche School (INS) Kayutanam tahun 1946, berbagai pengalaman dalam hal pekerjaan mengisi perjalanan hidupnya. Tahun 1944\u20141947, Navis menjadi pegawai pabrik porselen di Padang Panjang. Tahun 1955\u20141957 ia menjadi Kepala Bagian Kesenian, Jawatan Kebudayaan Sumatra Barat di Bukittinggi. Tahun 1969 Navis diangkat sebagai Ketua Yayasan Ruang Pendidik INS Kayutanam. Tahun 1971\u20141972 cerpenis ini menjabat Pemimpin Redaksi Harian Umum Semangat. Selanjutnya, pekerjaan yang ditekuninya adalah sebagai anggota DPRD Sumatra Barat periode 1971\u20141982. Sejak habis masa jabatannya sebagai anggota DPRD dan mengundurkan diri sebagai dosen luar biasa di Fakultas Sastra, Universitas Andalas, ia mencurahkan pikirannya untuk menulis. Kepengarangan Navis berawal dari kegemarannya membaca sejak usia SD. Sejak SD ia sudah berkenalan dengan filsafat, sejarah Islam, dan cerita-cerita pendek. Pada waktu itu ia belum mempunyai keinginan untuk menjadi pengarang. Yang ada di benaknya adalah ia akan menjadi seorang pelukis atau pematung. Niat menulis muncul sejak ia membaca cerpen karya Hamka yang secara teratur dipublikasikan dalam Pedoman Masyarakat. Pertanyaan yang secara teratur menggodanya setelah membaca karya Hamka adalah \"orang lain bisa menulis mengapa saya tidak?\" Motivasi ini mendorongnya untuk menulis. Cerpen \"Robohnya Surau Kami\" sejak dipublikasikan dalam majalah Kisah tahun 1955 mendapat tanggapan yang luar biasa, baik dari pembaca umum maupun kritikus sastra. Robohnya Surau Kami sudah diterjemahkan ke dalam empat bahasa (Inggris, Jerman, Perancis, dan Jepang). \"Robohnya Surau Kami\" kemudian dijadikan judul dalam kumpulan cerpen-cerpen Navis. Setelah Robohnya Surau Kami, karya Navis lainnya bermunculan, seperti Bianglala (kumpulan cerpen) terbit tahun 1963, Hujan Panas (kumpulan cerpen) terbit tahun 1964, Kemarau (novel) terbit tahun 1967, Saraswati, si Gadis dalam Sunyi (novel) terbit tahun 1970 dan tahun 2002 diterbitkan ulang oleh Gramedia Pustaka Utama, Dermaga Empat Sekoci (kumpulan sajak) terbit tahun 1975, Hujan Panas dan Kabut Musim (kumpulan cerpen) terbit tahun 1990, Beratnya Kerbau pada Sekoci (kumpulan cerpen) terbit tahun 2001, Kabut Negeri Si Dali (kumpulan cerpen) terbit tahun 2002. Minat pokok Navis yang menjadi tema-tema karya-karyanya berkisar di seputar masalah manusia dan kemanusiaan seperti penderitaan, kegetiran, kebahagiaan, dan harapan. Warna lokal atau kedaerahan Minangkabau yang kuat merupakan sisi lain yang menarik dalam karya Navis. Melalui karya-karyanya, Navis berhasil menempatkan idiom-idiom lokal Minangkabau dengan tetap menempatkannya dalam konteks yang lebih luas, yakni persoalan bangsa dengan konsep yang universal. Misalnya, cerpen \"Robohnya Surau Kami\", menampilkan warna Minangkabau yang kental, tetapi persoalan yang diangkatnya adalah persoalan agama dan fungsi ulama yang kian terpinggir dalam masyarakat modern. Di samping itu, Navis juga banyak menggunakan kata dan rasa bahasa yang sangat kental oleh budaya Minangkabau. Hal lain yang patut dikemukakan dari karya-karya Navis adalah adanya dialog-dialog yang tampil menarik, latar sosial yang digarap secara meyakinkan, dan berbagai masalah orang Minang yang merupakan suatu hal yang dianggap penting. Hal tersebut dipandang penting karena mencuatkan pergulatan hidup-mati antara struktur sosial yang umum berlaku dan tuntutan kuat akan perubahan pada kehidupan masyarakat Minang itu sendiri. Hal itu tampak sangat jelas dalam ajakannya untuk berusaha keras dalam memenuhi kebutuhan hidup, penggunaan akal dan ilmu pengetahuan dalam mengubah nasib, dan meningkatkan taraf kehidupan. Semua itu dapat dilihat dalam novelnya yang berjudul Kemarau. Kekuatan karya Navis tidak saja terletak pada gaya pengucapannya, tetapi juga tampak pada isi dan pemaknaannya. Selain karya kreatif, Navis juga menghasilkan beberapa karya nonkreatif, antara lain Alam Terkembang Jadi Guru yang diterbitkan tahun 1985. Buku itu terkenal sebagai referensi dalam mempelajari adat dan tradisi Minangkabau. Buku lainnya yang ditulisnya berupa biografi, yaitu biografi Mohammad Syafei dengan judul Filsafat dan Strategi Pendidikan M. Syafei tahun 1996 dan Biografi Hasyim Ning diterbitkan dengan judul Pasang Surut Pengusaha Pejuang terbit tahun 1986. Selain itu, A.A. Navis juga mengumpulkan sejumlah 106 makalah yang ditulisnya untuk berbagai kegiatan akademis di dalam maupun di luar negeri, yang kemudian diterbitkan dalam sebuah buku yang berjudul Yang Berjalan Sepanjang Jalan (1999). Sebagai sastrawan, A.A. Navis telah meraih sejumlah penghargaan atas karya-karya yang dihasilkannya, antara lain (1) \"Robohnya Surau Kami\" dinobatkan sebagai cerpen terbaik majalah Kisah tahun 1955. (2) \"Saraswati, si Gadis dalam Sunyi\" ditetapkan sebagai cerpen remaja terbaik oleh Unesco\/Ikapi tahun 1988, (3) Tahun 1970 Navis memperoleh penghargaan dari Radio Nederland pada acara sayembara menulis cerpen Kincir Emas atas cerpennya yang berjudul \"Jodoh\", (4) Tahun 1971 memperoleh penghargaan dari majalah Femina untuk cerpennya yang berjudul \"Kawin\", (5) Tahun 1988 mendapat anugerah Hadiah Seni dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, (6) Tahun 1992 memperoleh Hadiah Sastra South East Asia Write Award dari Kerajaan Thailand, dan (7) Tahun 2000, A.A. Navis memperoleh Satyalencana Kebudayaan dari Pemerintah Republik Indonesia. Tidak hanya itu, cerpen-cerpennya pun selalu terpilih sebagai cerpen terbaik pilihan Kompas. Sejak tahun 1992 hingga tahun 2002 cerpen Navis selalu terpilih menjadi cerpen terbaik pilihan Kompas, misalnya dalam kumpulan cerpen pilihan yang berjudul Kado Istimewa dan Jejak Tanah. Terakhir, cerpennya juga terpilih sebagai salah satu cerpen yang dimuat dalam kumpulan cerpen Kurma: Kumpulan Cerpen.","judul":"A.A Navis ( 1924-2003 )","sumber":"http:\/\/ensiklopedia.kemdikbud.go.id\/sastra\/artikel"},{"id":"7f5ad","pengunggah":"elvan","kategori":"Hadiah\/Sayembara Sastra","konten":"Anugerah Sagang merupakan sebuah penghargaan yang diberikan kepada tokoh yang berdedikasi terhadap seni, karya yang dinilai berkualitas, serta pemikiran-pemikiran yang menggerakkan budaya Melayu. Anugerah Sagang diberikan oleh Yayasan Sagang, sebuah yayasan dalam grup Riau Pos, yang peduli pada pelestarian dan pengembangan budaya Melayu. Anugerah Sagang merupakan komitmen yayasan Sagang terhadap Riau, suatu daerah yang telah menyumbangkan bahasa Melayu yang menjadi cikal bakal bahasa pemersatu di Indonesia. \"Sagang\" berasal dari kata yang populer di lingkungan nelayan yang bermukim di Singkep, pesisir Semenanjung Malaysia dan sekitarnya. Sagang merupakan nama sepotong kayu kecil berdiameter sekitar 2\u20143 cm yang biasa digunakan sebagai penyangga bubungan rumah di daerah pantai. Sagang dipasang secara diagonal pada atap rumah. Fungsi sagang adalah untuk menjaga keseimbangan rumah dari terpaan angin ribut. Para nelayan biasa menyebutnya \"sagang barat\" karena kayu itu dapat meredam terpaan angin barat. Para nelayan juga menggunakan sagang untuk menyokong bentangan layar. Sagang akan menjaga bentangan layar agar tetap terbuka sehingga perahu dapat melaju kencang. \"Sagang\" merupakan simbol semangat berkreasi orang Melayu. Sagang merupakan simbol semangat pantang menyerah dan tak gentar dalam menghadapi segala tantangan. Sejak tahun 1996, Anugerah Sagang telah diberikan dalam berbagai kategori dan jumlah kategori tersebut selalu bertambah. Penerima Anugerah Sagang Tahun 1996 diberikan berdasarkan 2 kategori Buku Terbaik Sagang diberikan pada buku Raja Ali Haji, Budayawan di Gerbang abad XX, karya Hasan Junus dan Seniman Terbaik Sagang diberikan kepada Idrus Tintin. Tahun 1997 diberikan berdasarkan 3 kategori Buku Terbaik Sagang diberikan pada Sandiwara Hang Tuah, karya Taufik Ikram Jamil, Budayawan Terbaik Sagang diberikan kepada Tenas Effendy, dan Lembaga Khusus Sagang diberikan pada Selembayung. Tahun 1998 diberikan berdasarkan 3 kategori Seniman Terbaik Sagang diberikan kepada Ediruslan Pe Amanriza, Buku Pilihan Terbaik Sagang diberikan pada buku Cakap Rampai-rampai Budaya Melayu di Riau, karya UU Hamidy, dan Penghargaan Khusus Sagang diberikan pada Yayasan Kebudayaan Indra Sakti, Pulau Penyengat. Tahun 1999 diberikan berdasarkan 3 kategori Seniman\/Budayawan Terbaik Sagang diberikan kepada Hasan Junus, Buku Pilihan Terbaik Sagang diberikan pada buku H. Soeman Hs: Bukan Pencuri Anak Perawan, ditulis oleh Fakhrunnas MA Jabbar, dan Kategori khusus\/institusi\/ lembaga\/karya seni budaya Pilihan Sagang diberikan pada Sanggar Laksemana, Pekanbaru. Tahun 2000 diberikan berdasarkan 4 kategori Seniman Terbaik Sagang diberikan kepada Solaiman Syafei, Buku Pilihan Terbaik Sagang diberikan pada buku Sebuah Telaah Tentang Buku Tsamarat Al Muhimmah, karya Mahdini, Serantau Pilihan Sagang diberikan pada Gapena (Gabungan Persatuan Penulis Nasional Malaysia), dan Kategori Lembaga Khusus sagang diberikan pada yayasan Sempena Riau Tahun 2001 diberikan berdasarkan 4 kategori Seniman Terbaik Sagang diberikan kepada Dantje S Moeis, Buku Pilihan Terbaik Sagang diberikan pada buku Percikan Kisah Membentuk Provinsi Riau, Taufik Ikram Jamil dkk., Budayawan Serantau Pilihan Sagang diberikan pada Abu Hassan Sham, dan Kategori Lembaga Khusus sagang diberikan pada Penerbit Universitas Riau (Unri Press). Tahun 2002 diberikan berdasarkan 5 kategori Seniman Terbaik Sagang diberikan kepada Sudarno Mahyudin, Buku Pilihan Terbaik Sagang diberikan pada buku Kandil Akal di Pelataran Budi, karya Hamzah Junus, Musik Pilihan Sagang diberikan pada kaset Panggil Aku Sakai Anugerah Serantau Pilihan Sagang diberikan pada TV Suria, Singapura, dan Kategori Lembaga Khusus Sagang diberikan pada Sanggar Tasik, Bengkalis. Tahun 2003 diberikan berdasarkan 5 kategori Seniman Terbaik Sagang diberikan kepada Taufik Ikram Jamil, Buku Pilihan Terbaik Sagang diberikan pada buku Rumah Melayu: Memangku Adat menjemput Zaman, karya Mahyudin Al Mudra, Karya Alternatif Pilihan Sagang diberikan pada Senam Zapin Payung Sekaki, Institusi Pilihan Sagang diberikan pada Sanggar Malay, dan Anugerah Serantau Pilihan Sagang diberikan kepada Tengku Lukman Sinar. Tahun 2005 diberikan berdasarkan 6 kategori Seniman Terbaik Sagang diberikan kepada Yusmar Yusuf, Buku Pilihan Terbaik Sagang diberikan pada Evi Meir buku Menjadi Batu, karya Taufik Ikram Jamil, Karya Pilihan Sagang diberikan pada Songket Melayu Pekanbaru, karya Evi Meiroza Herman, Institusi Pilihan Sagang diberikan pada Sanggar dan Pusat Pelatihan Sri Gemilang, Anugerah Serantau Pilihan Sagang diberikan kepada A. Latif Bakar, dan Karya Jurnalistik Budaya Pilihan Sagang diberikan pada karya tulis berjudul Riau: Negeri Sahibul Kitab karya Amarzan Lubis\/Tempo. Tahun 2006 diberikan berdasarkan 6 kategori Seniman Terbaik Sagang diberikan kepada Iwan Irawan Permadi, Buku Pilihan Terbaik Sagang diberikan pad Sebatang Ceri di Serambi karya Fakhrunnas MA Jabbar, Karya Pilihan Sagang diberikan pada Batik Riau, karya Septina Rusli, Institusi Pilihan Sagang diberikan pada Sanggar Latah Tuah, Anugerah Serantau Pilihan Sagang diberikankepada Maman S. Mahayana, dan Karya Jurnalistik Budaya Pilihan Sagang diberikan pada karya tulis berjudul Cukup Kami Saja yang Buta Huruf, karya Ade Chandra.","judul":"Anugerah_Sagang (1996)","sumber":"http:\/\/ensiklopedia.kemdikbud.go.id\/sastra\/artikel"},{"id":"927a2","pengunggah":"elvan","kategori":"Karya sastra","konten":"Anak Dan Kemenakan merupakan salah satu novel karya Marah Rusli yang diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1956. Judul novel itu diambil dari salah satu subjudul yang terdapat dalam buku tersebut. Novel ini dicetak ulang pada tahun 2000 oleh Balai Pustaka dalam seri sastra nostalgia. Novel Anak dan Kemenakan bercerita tentang percintaan sepasang remaja, Mr. M. Yatim dan Puti Bidasari yang terhalang oleh norma adat dan perbedaan status sosial. Novel itu disajikan pengarang dalam tiga belas bagian dengan tiga belas subjudul. Ketiga belas subjudul itu adalah (1) \"Kembali dari Barat\", (2) \"Perayaan Penyambutan Mr. M. Yatim\", (3) \"Usaha Baginda Mais\", (4) \"Mr. M. Yatim Bercerai dari Puti Bidasari\", (5) \"Hari Raya Idul Fitri\", (6) \"Perjudian Hari Raya\", (7) \"Pengadilan Perkara Mak Uning\", (8) \"Perkawinan Mr. M. Yatim dengan Siti Nurmala dan Puti Bidasari dengan Sutan Malik\", (9) \"Usaha Sahabat Karib\", (10) \"Sutan Ali Akbar\", (11) \"Tukang Pedati Malim Batuah\", (12) \"Mamak dan Kemanakan\", dan (13) \"Perkawinan Mr. M. Yatim dan Puti Bidasari\". Ada beberapa subjudul dari ketiga belas subjudul tersebut merupakan bagian yang seolah-olah terlepas dari jalinan cerita keseluruhan karena pumpunan cerita berada di luar inti cerita. Namun, subjudul-subjudul itu pada dasarnya merupakan bagian dari cerita yang masih memiliki benang merah dan mendukung inti cerita. Sementara itu, latar tempat cerita ini adalah kota Padang dengan latar sosial budaya masyarakat Minangkabau. Di samping mengungkapkan persoalan cinta sepasang remaja, novel Anak dan Kemenakan juga berisi berbagai persoalan kemasyarakatan, yaitu masalah status kebangsawanan dan bagaiamana masyarakat memandang status kebangsawanan tersebut. Status kebangsawanan inilah yang menghalangi percintaan antara Mr. M. Yatim dan Puti Bidasari. Mr. M. Yatim adalah anak angkat Sutan Alam Syah yang meraih gelar master dalam bidang ilmu hukum dari negeri Belanda. Selepas belajar, Mr. M. Yatim kembali ke Padang dan bekerja sebagai jaksa. Mr. M. Yatim menjalin cinta dengan Puti Bidasari, kemenakan Sutan Alam Syah. Akan tetapi, percintaan mereka ditentang oleh orang tua Bidasari, Puti Renosari dan Sutan Baheram Syah. Penentangan kedua orang tua Bidasari didasarkan atas perbedaan status kebangsawanan yang disandang oleh Mr. M. Yatim. Ia hanyalah seorang anak pungut yang tidak diketahui asal-usulnya. Sementara itu, orang tua Puti Bidasari menginginkan anaknya berjodoh dengan orang dari kalangan bangsawan. Penolakan orang tua Bidasari sangat membahagiakan orang lain yang berminat mengambil Mr. M. Yatim menjadi menantunya. Baginda Mais, seorang saudagar kaya, sangat menginginkan Mr. M. Yatim menjadi menantunya. Penolakan Puti Renosari dan Sutan Baheram Syah merupakan peluang baginya untuk mendapatkan Mr. M. Yatim. Untuk mewujudkan keinginannya itu, Baginda Mais mendukung penolakan Puti Renosari dengan mengajukan Sutan Malik\u2014seorang bangsawan\u2014untuk jodoh Puti Bidasari. Baginda Mais sanggup menanggung semua biaya yang diperlukan untuk perkawinan Puti Bidasari. Setelah diombang-ambingkan oleh berbagai persoalan, akhirnya Mr. M. Yatim menikah dengan Puti Bidasari. Orang tua Bidasari mengizinkan pernikahan itu setelah mengetahui asal-usul Mr. M. Yatim. Mr. M. Yatim karena ternyata pemuda ini adalah seorang keturunan bangsawan yang terusir dari kampungnya. Di samping mengungkapkan persoalan cinta dan status kebangsawanan, novel Anak dan Kemenakan juga menyuarakan pembaharuan terhadap pelaksanaan konsep adat. Persoalan penerapan konsep yang dipermasalahkan adalah keberpihakan seorang mamak terhadap kemenakan. Konsep adat \"anak dipangku kemenakan dibimbing\" tidak diterapkan semestinya oleh kebanyakan masyarakat. Dalam konsep adat itu termaktub suatu ketentuan untuk menyeimbangkan perhatian terhadap anak dan kemenakan. Namun, dalam pelaksanaannya, masyarakat lebih mengutamakan kemenakan sehingga tanggung jawab terhadap anak terabaikan. Pembicaraan tentang novel itu antara lain pernah dilakukan oleh Lukman Ali dalam Unsur Adat Minangkabau dalam Sastra Indonesia 1922\u20141956 (1994), Harry G. Aveling dalam Siti Nurbaya: Some Consideration (BKI, 1970), Alberta Joy Freidus dalam Sumateran Contribution to the Development of Indonesian Literature 1920\u20141942 (1969), dan Bambang Trisman dalam bukunya Mamak dan Ninik Mamak dalam Dua Roman Indonesia Berwarna Lokal: Siti Nurbaya dan Anak dan Kemenakan Karya Marah Rusli (2006). Dalam buku Bambang Trisman (2006) dinyatakan bahwa penggambaran tokoh mamak dan ninik mamak dalam kedua novel (Sitti Nurbaya dan Anak dan Kemenakan) tersebut sangat berbeda dari konsep adat dan kebudayaan Minangkabau. Penggambaran yang berbeda tersebut disebabkan oleh berbagai faktor. Marah Rusli yang berasal dari wilayah pesisir (rantau) memiliki beberapa perbedaan dalam penerapan sistem adat dengan daerah Lohak Nan Tigo (Darat). Sitti Nurbaya dan Anak dan Kemenakan yang diterbitkan oleh Balai Pustaka memiliki beberapa klasifikasi dan kebijakan penerbitan karya sastra. Pada saat novel ini ditulis dan kemudian diterbitkan keberhasilan pendidikan dianggap sebagai salah satu pembangkit kesadaran generasi muda terhadap berbagai aspek sosial kemasyarakatan.","judul":"Anak_dan_Kemenakan (1976)","sumber":"http:\/\/ensiklopedia.kemdikbud.go.id\/sastra\/artikel"},{"id":"93791","pengunggah":"elvan","kategori":"Gejala Sastra","konten":"Eksistensialisme merupakan gerakan filosofis yang menganut paham bahwa tiap orang harus menciptakan makna di alam semesta yang tak jelas, kacau, dan tampak hampa ini. Eksistensialisme berasal dari kata \"eksistensi\" dengan akar kata eks \"keluar\" dansistensi \"berdiri\", menempatkan (diturunkan dari kata kerja sisto). Oleh karena itu, kata \"eksistensi\" diartikan: manusia berdiri sebagai diri sendiri dengan keluar dari dirinya. Manusia sadar bahwa dirinya ada. Yang dianggap sebagai pelopor atau bapak eksistensialisme adalah Soren Aabye Kierkegaard (1813\u20141855). Namun juga tidak dapat diingkari adanya pengaruh filsafat lain terhadap eksistensialisme, yaitu fenomenologi dari Friedrich Wilhelm Nietzsche (1844\u20141900), Edmund Husserl (1859\u20141941), Nicolas Alexandrovitch Berdyaev (1874\u20141948), Karl Jaspers (1883\u20141969), Jean-Paul Sartre (1905--1980), dan metafisika modern. Pokok-pokok filsafat eksistensialisme adalah menganggap bahwa hanya manusialah yang bereksistensi. Eksistensi merupakan cara khas manusia mengada. Perhatian utama diarahkan pada manusia dan oleh karena itu, filsafat ini bersifat humanistis, bereksistensi harus diartikan secara dinamis. Pengertian bereksistensi berarti bahwa manusia menciptakan dirinya secara aktif, berbuat, menjadi dan merencanakan, manusia ditinjau sebagai \"sesuatu\" yang terbuka dan manusia adalah realitas yang belum selesai, yang masih harus dibentuk, dan filsafat ini memberi tekanan pada pengalaman yang konkret yang berbeda-beda. Martin Heidegger (1889\u20141976) memberi tekanan pada kematian, yang menyuramkan segala sesuatu. Dikatakan oleh Heidgger bahwa di dalam kesibukan dan kecintaan untuk memelihara manusia merasa cemas akan ketiadaan karena ketiadaan ini mengancam ada. Kematian ini adalah akhir yang selalu hadir, maka eksistensi manusia adalah eksistensi yang menuju ke kematian. Gabriel Marcel (1889 \u20131973) memberi tekanan pada pengalaman keagamaan dan hal yang transendental. Ini ditunjukkan melalui ajarannya mengenai adanya \"Engkau yang tertinggi\", yang tidak dapat dijadikan obyek oleh manusia. Karl Jaspers (1883\u20141969) memberi tekanan pada pengalaman saling pertentangan dalam eksistensi yang sulit didamaikan. Eksistensi masih mengandung di dalamnya hal-hal yang baik dan yang jahat, yang benar dan yang salah. Sifat-sifat hakiki eksistensi ini lebih-lebih dialami dalam situasi perbatasan yang tidak dapat dihindari yaitu kematian, penderitaan, perjuangan dan kesalahan. Jean Paul Sartre (1905\u20141980) memberi tekanan pada kebebasan manusia. Manusia tidak lain daripada bagaimana ia menjadikan dirinya sendiri. \"Man is nothing else but what he makes of himself\". Maka manusia itu bebas dalam arti yang sebenarnya, ia menciptakan masa depannya dan karena itu ia bertanggung jawab bagi dirinya sendiri dan bagi orang lain. Tanggung jawab ini tidak dapat dibebankan kepada orang lain ataupun Tuhan. Gerakan pemikiran eksistensialisme ini dipandang sebagai reaksi balik terhadap kecenderungan idealisme dan kecenderungan sistem dan penghancuran manusia yang mewarnai Eropa awal abad XX. Dalam karya sastra di Indonesia, Iwan Simatupang dengan novelnya Ziarah yang absurd menampilkan warna eksistensialisme. Masalah ini disajikan dengan cara yang mengagumkan. Pemikiran dan sikap eksistensialisme terungkap juga dalam puisi Chairil Anwar dan dalam beberapa puisi Sitor Situmorang, seperti \"Catedral des Chartes\". Dick Hartoko pernah mengulas pikiran eksistensialisme Chairil Anwar. Selain itu, Mangunwijaja pernah mengulas karya Kuntowijoyo Khotbah di Atas Bukit dan karya Putu Wijaya Telegram dalam Sastra dan Religiusitas yang menyimpulkan bahwa kedua karya pengarang itu memperlihatkan ciri eksistensialisme dalam sastra. Dick Hartoko dalam Tonggak Perjalanan Budaya mengatakan \"\u2026 filsafat eksistensialistis tidak merupakan satu aliran filsafat yang bulat, yang tunggal dan monolistis, seperti kita dapat berbicara tentang filsafat Aristoteles, Plato atau Hegel. Di bawah judul eksistensialisme bernaunglah macam-macam aliran dan macam-macam tokoh, yang kadang-kadang saling berlawanan yang sering dalam pergaulan sehari-hari disebut pandangan eksistensialistis adalah filsafat Jean Paul Sartre, salah satu dari filsuf-filsuf eksistensialistis. Bahkan Sartre bukanlah tokoh utama aliran ini, apalagi tokoh yang paling representatif (1986)\". Lebih lanjut Dick mengatakan \"pada umumnya filsafat dan pandangan eksistensialis di sini baru mulai diketahui di Indonesia sesudah Perang Dunia II, tegasnya sesudah perjuangan kemerdekaan kita selesai, jadi sesudah tahun 1949. Namun, sekalipun pengaruh dari luar tak dapat ditunjukkan, faktumnya ada, bahwa dalam karya Chairil (Chairil Anwar) kita dengar nada-nada yang membuat kita teringat akan pandangan eksistensialis (1986)\".","judul":"Eksistensialisme","sumber":"http:\/\/ensiklopedia.kemdikbud.go.id\/sastra\/artikel"},{"id":"97391","pengunggah":"elvan","kategori":"Karya sastra","konten":"Novel Ali Topan Anak Jalanan: Kesandung Cinta merupakan novel karya Teguh Esha yang terbit pada tahun 1977. Tokoh Ali Topan muncul pertama kali dalam cerita bersambung karya Teguh Esha di majalah Stop tahun 1972. Setelah itu, Teguh Esha mengekranisasikan karya tersebut dalam bentuk film dengan judul \"Ali Topan Anak Jalanan\" pada tahun 1977 dengan pemeran utama Junaedi Salat dan Yatie Octavia. Dari film tersebut kemudian Teguh Esha menuliskannya dalam bentuk novel dengan judul Ali Topan Anak Jalanan Kesandung Cinta yang terbit tahun 1977. Karya novel ini mengisahkan percintaan antara Ali Topan dan Anna Karenina yang tidak disetujui oleh orang tua si gadis dan menyebabkan Ali Topan pergi dari rumahnya. Saat Ali Topan harus hidup di jalanan ia membutuhkan pekerjaaan. Oleh sebab itu, Ali Topan bekerja menjadi wartawan dan detektif. Hal inilah yang menjadi tema novel kedua Teguh Esha tentang Ali Topan yang berjudul Ali Topan Detektif Partikelir terbit tahun 1978 oleh penerbit Cypress. Novel ini kemudian terbit ulang pada tahun 2000 dengan judul Ali Topan Wartawan Jalanan yang diterbitkan oleh PT Visi Gagas Komunika. Selain dalam bentuk novel dan film, karya Teguh Esha ini pada tahun 2009 diunggah di youtube dalam versi yang berbeda dengan sutradara Harry Dagoe Suharyadi dan dibintangi oleh Ari Sihasale dan Karina Suwandi. Karya Teguh Esha ini juga digubah menjadi lirik lagu yang diciptakan oleh Guruh Sukarno Putra dan dinyanyikan oleh Chrisye dengan judul lagu \"Anak Jalanan\". Pada tahun 2011 tepatnya pada bulan April, kisah Ali Topan ini juga digubah menjadi sebuah drama musikal di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki yang dilakukan oleh ArtSwara. Ali Topan Anak Jalanan oleh Korrie Layun Rampan dalam bukunya Perjalanan Sastra Indonesia (1983) digolongkan sebagai karya populer bersama-sama dengan novel Karmila karya Marga T. dan Cowok Komersil karya Eddy D. Iskandar. Karya Teguh Esha ini dalam waktu yang relatif singkat terjual sekitar 60 ribu eksemplar. Selain itu, Korrie (1983) juga menyatakan bahwa karya Teguh Esha ini berbentuk kritik sosial yang tajam. Dalam bukunya Suara Pancaran Cita (1983), Korrie menyatakan bahwa tokoh Ali Topan merupakan prototipe remaja tahun 70-an. Tokoh ini ekspresif, brutal, jenius, bahkan kadang-kadang tampak superhuman atau superman. Korrie (1983) juga menyatakan bahwa bahasa yang digunakan pas, latar dan suasana juga tepat sesuai dengan dunia remaja sehingga membuat novel ini komunikatif dengan dunia anak muda pada masa itu.","judul":"Ali_Topan_Anak_Jalanan (1977 )","sumber":"http:\/\/ensiklopedia.kemdikbud.go.id\/sastra\/artikel"},{"id":"98b97","pengunggah":"elvan","kategori":"Pengarang","konten":"A.M.Dg. Myala atau Abdul Muin Daeng Myala adalah sastrawan Indonesia kelahiran Makassar pada tanggal 2 Januari 1909. Penyair ini mempunyai nama lain A. M. Thahir. Dia tergolong sebagai penyair Angkatan Pujangga Baru. Pendidikannya hanyalah sekolah kelas II. Namun, berkat usaha kerasnya (belajar secara autodidak), pada tahun 1928 ia dipercaya menjadi guru HIS Muhammadiyah dan membantu majalah Poedjangga Baroe (Eneste, 1990:17). Pada tahun 1929 ia diangkat sebagai pekerja (buruh) di Dinas Perdagangan dan pada tahun 1930 ia kembali menjadi guru, di Holland Dinijah School, Makassar. Di zaman Jepang, A.M.Dg. Myala pernah menjadi pegawai Makassar Siyakusyo dan Selebes Minseibu. Setelah kemerdekaan, ia pernah menjadi pegawai Kementerian Penerangan Negara Indonesia Timur dan pernah pula diperbantukan pada Kementerian Pengajaran Negara Indonesia Timur sambil mengasuh majalah Budaja bersama M.R. Dajoh. A.M.Dg. Myala banyak menulis sajak. Puluhan sajaknya muncul di dua majalah ternama saat itu, yakni Pandji Poestaka dan Poedjangga Baroe. Pada tahap berikutnya (dekade '40-an) ia juga menulis prosa. Belasan prosanya dan juga puluhan sajaknya bertebaran di beberapa media massa cetak yang terbit saat itu, seperti Budaja, Siasat, dan Pewarta Selebes. Pada dekade '50-an, meskipun tidak seproduktif pada dekade '30-an dan '40-an, ia masih tetap menulis. Beberapa sajaknya dapat ditemukan dalam Sulawesi dan Berita Kebudajaan. Sejumlah sajaknya oleh Sutan Takdir Alisjahbana dan Linus Suryadi A.G. dimuat dalam bunga rampai mereka, Puisi Baru (1946) dan Tonggak 1 (1987). Berikut ini adalah daftar karyanya. Karya-karyanya yang berbentuk puisi adalah (1) \"Kekasih\" (Pandji Poestaka, No. 15, Th. X, 1932), (2) \"Di dalam Taman\" (Pandji Poestaka, No. 28, Th. X, 1932), (3) \"Jangan Kecewa\" (Pandji Poestaka, No. 48, Th. X, 1932), (4) \"Bunga Melati\" (Pandji Poestaka, No. 50, Th. X, 1932), (5) \"Jangan Katakan\" (Pandji Poestaka, No. 52, Th. X, 1932), (6) \"Jangan Sangkakak\" (Pandji Poestaka, No. 58, Th. X, 1932), (7) \"Aku Tahu Tuan Tak Tahu\" (Pandji Poestaka, No. 62, Th. X, 1932), (8) \"Dimana Gerangan Dinda Utama?\" (Pandji Poestaka, No. 62, Th. X, 1932), (9) \"Jika Tidak\" (Pandji Poestaka, No. 732, Th. X, 1932), (10) \"Keluh\" (Pandji Poestaka, No. 91, Th. X, 1932), (11) \"Kecewa (Pandji Poestaka, No. 93, Th. X, 1932), (12) \"Bimbang\" (Pandji Poestaka, No. 96, Th. X, 1932), (13) \"Keluh dan Sangka\" (Pandji Poestaka, No. 99, Th. X, 1932), (14) \"Mudah Bestari\" (Pudjangga Baroe, No. 3, Th. I, 1933), (15) \"Indonesia Tanah Airku\" (Pudjangga Baroe, No. 3, Th. I, 1933), (16) \"Gubahan\" (Pudjangga Baroe, No. 10, Th. VI, 1939), (17) \"Ada Hiburan\" (Pudjangga Baroe, No. 8, Th. IV, 1937), (18) \"O, Manusia\" (Pudjangga Baroe, No. 5, Th. IX, 1941), (19) \"Betapa Tidak\" (Siasat, No. 71, Th. II, 1948), (20) \"Penyapu Jala\" (Siasat, No. 71, Th. II, 1948), (21) \"Buahnya\" (Budaja, No. 4, Th. II, 1947), (22) \"Bukan\" (Budaja, No. 4, Th. II, 1947), (23) \"Cahaya Hati\" (Budaja, No. 1, Th. II, 1947), (24) \"Gugur Melati\" (Budaja, No. 4, Th. II, 1947), (25) \"Percayalah, Kawan\" (Sulawesi, No 1, Th. I, 1958), (26) \"Pesan\" (Sulawesi, No 1, Th. I, 1958), (27) \"Bimbang\" (Berita Kebudajaan, No 6, Th. I, 1952), (28) \"Ada Aku\" (Berita Kebudajaan, No 6, Th. I, 1952), dan (29) \"Pesan\" (Berita Kebudajaan, No 6, Th. I, 1952). Karya-karyanya yang berbentuk prosa adalah (1) \"Aku dan Bantimurung (Budaja, No. 5, Th. III, 1948), (2) \"Dalam Gelanggang\" (Budaja, No. 8, Th.III, 1948), (3) \"Demikian Hendaknya\" (Budaja, No. 8, Th. II, 1948), (4) \"Di bawah Arus Gelombang Masa\" (Budaja, No. 8, Th. II, 1948), (5) \"Jika Cinta Sudah Terjalin\" (Budaja, No. 8, Th. II, 1948), (6) \"Kenang-kenangan (Budaja, No. 6, Th. II, 1948), (7) \"Kisah yang Bukan Kisah Tapi yang Kisah Pula\" (Budaja, No. 8, Th. II, 1948), (8) \"Lebur\" (Budaja, No. 8, Th. II, 1948), (9) \"Mengembara (Budaja, No. 12, Th. III, 1948), dan (10) \"Manusia Dewa\" Pudjangga Baroe, No. 3, Th. XI, 1949).","judul":"A_M_Dg_Myala ( 1944-\u2026)","sumber":"http:\/\/ensiklopedia.kemdikbud.go.id\/sastra\/artikel"},{"id":"9a741","pengunggah":"elvan","kategori":"Media Penyebar\/Penerbit Sastra","konten":"Surat kabar Abadi merupakan surat kabar harian yang terbit di Jakarta. Surat kabar ini pertama kali terbit 2 Januari 1951 dengan pemimpin redaksinya Suardi Tasrif. Redaksi harian ini mula-mula beralamat di Jalan Menteng 22, Jakarta; Jalan Blora No.36\u201437, kemudian pindah ke Jalan Kramat Raya 45, Jakarta. Abadi mempunyai moto \"Untuk bangsa, untuk negara, untuk agama\". Harian ini mempunyai tujuan menyuarakan pandangan partai Masyumi (Majelis Syuro Muslim Indonesia) terhadap hidup kenegaraan di Indonesia. Harian ini diterbitkan oleh PT Kramat Empat Lima. Halaman isi dan halaman sampulnya menggunakan kertas Koran. Abadi dapat bertahan cukup lama. Harian ini mengalami dua kali masa penerbitan. Masa penerbitan pertama berlangsung ketika pemerintahan Soekarno dan yang kedua ketika pemerintahan Soeharto. Keberadaan harian ini beberapa kali mendapat rintangan. Abadi dilarang terbit pertama kali pada tanggal 13\u201414 September 1957 karena menyiarkan berita yang tidak berasal dari juru bicara resmi Musyawarah Nasional. Waktu itu Musyawarah Nasional diadakan untuk merujukkan para pemimpin pemerintah pusat dan daerah-daerah yang memberontak serta antara Presiden Soekarno dan Wakil Presiden M. Hatta. Larangan terbit yang kedua terjadi pada bulan September 1960 dan baru beredar lagi awal bulan berikutnya. Akan tetapi, pada tanggal 31 Oktober 1960 itu juga Abadi yang dipimpin H. Sidi Mohammad Syaaf menutup sendiri penerbitannya karena tidak bersedia menandatangani ketentuan berupa persyaratan untuk memperoleh surat izin terbit (SIT). Abadi terbit kembali pada tanggal 7 Desember 1968 walaupun partai Masyumi dilarang. Masa penerbitan kedua ini hanya bertahan enam tahun karena surat isin cetak (SIC) dan SIT dicabut tanggal 21 Januari dan 23 Januari 1974 sehubungan dengan pemberitaan mengenai demonstrasi mahasiswa pada saat kunjungan kenegaraan Perdana Menteri Jepang. Harian ini dilarang terbit tanpa batas waktu. Iklan yang dimuat dalam Abadi adalah iklan pakaian, obat, bioskop, acara radio, ucapan selamat, dan pengumuman. Pendistribusian harian ini berskala nasional. Hal itu dapat dilihat dari adanya agen yang tersebar di berbagai kota dan surat pembaca yang datangnya dari berbagai kota, seperti Jakarta, Solo, Padang, Yogyakarta, Brebes, dan Bali. Abadi memuat bermacam-macam rubrik, antara lain, tajuk rencana, berita olahraga, surat pembaca, perbendaharaan lama, cerita tentang orang, dan manifestasi yang berisi masalah filsafat, sastra, dan seni. Rubrik manifestasi terbit setiap hari Sabtu dan diasuh oleh Bahrun Rangkuti, M. Saribi, dan Susanto Dwijodjuwono. Harian Abadi cukup terkenal dalam dunia sastra karena banyak memuat karya sastra yang ditulis pengarang terkenal. Keterkenalan media ini diakui oleh Teeuw dalam bukunya Sastra Indonesia Modern II, Pustaka Jaya, 1989. Menurut Teeuw, Abadi menjadi harian terkemuka pada masa pemerintahan Soeharto. Karya sastra yang ditampilkan pun cukup beragam, antara lain, puisi yang berjudul \"Senja\" karya Mansur Samin, \"Sinar Mangkasara\" karya Bahrun Rangkuti, \"Menempuh Padang Kenangan\" karya M. Saribi, \"Rahmat\" karya L.K. Ara, dan \"Berjalan di Atas Bumi, Lautan\" karya Slamet Rahardjo. Cerita pendek yang dimuat dalam harian ini, antara lain, berjudul \"Dia yang Kehilangan\" karya Hamzah Zainuddin, \"Kisah Waktu Liburan\" karya T. HLY. Affandi, \"Di Suatu Pagi\" karya Zubaidi A.L., dan \"Dua Orang Laki-Laki\" karya Djoko Soebagio. Cerita bersambung yang dimuat dalam harian ini berupa terjemahan karya Rudolf Hess yang diterjemahkan oleh Ali Audah. Karya yang lainnya berupa esai sastra. Tema karya sastra yang dimuat dalam harian ini mempunyai ciri khusus, yaitu masalah yang berkaitan dengan ajaran Islam. Para pengarang yang menulis dalam Abadi, antara lain, adalah Tuty Alawiyah A.S., R. Soekatman, T. HLY. Affandi, Buyung Jauh, Hadi S., Taufiq Ismail, Mansur Samin, M. Saribi, M. Mohtar Sum, Kuslan Budiman, Mohd. Farchan Hisjam, L.K. Ara, Junus Mukri Adi, Soemarso Soemarsono, Faisal Ismail, Isman Chudori, dan Slamet Rahadjo. Pembaca sasaran media ini adalah kaum interlektual, khususnya yang beragama Islam.","judul":"Abadi (1951-1974)","sumber":"http:\/\/ensiklopedia.kemdikbud.go.id\/sastra\/artikel"},{"id":"9dee7","pengunggah":"elvan","kategori":"Pengarang","konten":"A. Bastari Asnin, sastrawan dengan nama lengkap Ahmad Bastari Asnin, lahir di Blambangan, Muaradua, Ogan Komering Ulu, Sumatra Selatan, 29 Agustus 1939 dan meninggal dunia di Jakarta, 21 November 1984. Bastari Asnin sempat kuliah di Fakultas Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (hingga mencapai Sarjana Muda). Bastari mulai merintis karier sebagai pengarang saat tinggal di Yogyakarta. Sebelum memasuki Universitas Gadjah Mada, Bastari sejak tahun 1952 \u2014setelah lulus SD di Palembang (1951)\u2014 ia melanjutkan pendidikannya di Madrasah selama 4 tahun di Yogyakarta yang kemudian dilanjutkan di SMA dan lulus tahun 1959. Setelah keluar dari Universitas Gadjah Mada, ia bekerja sebagai wartawan di Harian Kami (1967\u20141969) dan sejak 1970 sampai wafatnya ia bekerja di majalah berita Tempo. Terakhir ia menjabat sebagai redaktur pelaksana majalah tersebut. Kehidupan kanak-kanaknya di Blambangan dan Palembang hampir merupakan bias yang kabur dan hanya bisa dirasakan dalam cerita-cerita pendeknya yang unik tentang hutan. Demikian periode akhir hidupnya di Jakarta, tidak begitu banyak menyentuh kehidupan sastra karena sejak ia bekerja secara tetap, ia hampir tidak lagi muncul di arena sastra. Cerita-cerita pendeknya memang pernah muncul di dalam majalah Horison, tetapi bukan cerita pendek baru. Tampaknya, karya tersebut merupakan sisa karya yang ditulis selama periodenya bermukim di Yogyakarta. Kegiatan kesastraannya surut karena ia sepenuhnya menekuni bidang kewartawanan. Tampaknya masa-masa ia tinggal di Yogyakarta merupakan bagian paling subur di dalam dunia kepengarangan Bastari. Motinggo Busye dalam tulisan \"Banyak Kenangan Manis Bersama Bastari, Tapi Hanya Sebagian\" (Horison, No.1 Th.XIX, Januari 1985), mencatat berbagai hal lucu mengenai kehidupan pribadi Bastari (bersama Motinggo sendiri) sebagai pengarang yang pernah menempuh periode bohemian. Kehidupan yang sukar Bastari (dan juga Motinggo) untuk kuliah dengan tenang. Bukan hanya tempat mondok yang menjadi masalah, akan tetapi, terutama persoalan makan. Sebagai mahasiswa yang lebih banyak mengandalkan honorarium sebagai sumber nafkah dan belanja, Bastari pernah diusir dari rumah pondokan karena tidak mampu membayar selama beberapa bulan. Pengalaman-pengalaman pahit dan tidak menyenangkan ini mungkin sebagai pemicu lahirnya cerita-cerita pendek yang menggambarkan kehidupan nyata yang di dalamnya bergaung suara sepi dan kebanyakan cerita pendek Bastari bersifat soliter (terpencil) dan mengambil latar alam perawan yang secara fisik melahirkan warna daerah yang khas. Warna lokal itu ia anyam di dalam perilaku dan keadaan hidup serta sikap budaya masyarakatnya, cerita-cerita pendeknya yang bertebaran di majalah sastra dan budaya zaman itu memperlihatkan warna khas, khususnya dari latarnya. Salah satu cerita pendeknya yang menarik berjudul \"Di Tengah Padang\". Motinggo dalam tulisannya itu menyebut A. Bastari Asnin sebagai seorang yang \"berdarah dingin, penuh misteri, dan sukar diterka\". Cerita pendek \"Di Tengah Padang\" meraih hadiah pertama majalah Sastra tahun 1961. Kemudian cerita pendeknya \"Dua Buah Peluru Tunggal\" dan \"Laki-Laki Berkuda\" meraih hadiah ketiga majalah Sastra tahun 1963. Hingga akhir hayatnya, A. Bastari Asnin baru menerbitkan dua buku kumpulan cerita pendek yaitu Di Tengah Padang (1962), dan Laki-Laki Berkuda (1963). Keduanya diterbitkan oleh Penerbit Nusantara. Sebenarnya masih banyak karya sastra sastrawan ini yang belum dibukukan dan yang secara tegas memperlihatkan kedudukannya sebagai cerpenis yang menulis cerita-cerita pendek berwarna lokal secara kuat dan mengesankan. Karya A. Bastari Asnin yang dimuat dalam majalah Tjerita adalah \"Ada Api di Pematang (No.2 Th.1, 1957, \"Pengungsi\" (No.1 Th.2, 1958), \"Sebuah Masjid (No.2 Th.2, 1958), \"Hidup yang Sendiri\" (No.3 Th.2, 1958), \"Sumpah Seorang Bapa\" (No.5 Th.2, 1958), \"Gerobak Terakhir\" (No.7 Th.2, 1958), dan \"Jendela\" (No.11 Th.2, 1958). Karyanya yang dimuat dalam majalah Brawidjaja berjudul \"Kisah Senja (No.13 Th.7, 1957), \"Yang Penghabisan\" (No.2 Th.9, 1959), dalam majalah Minggu Pagi berjudul \"Pulang\" (No.2 Th.11, 1958), \"Bayang-Bayang\" (No.24 Th.11, 1958), \"Dalam Wajah\" (No.32 Th.11, 1958), \"Bunuh diri\" (No.43 Th.11, 1959), \"Hati Perempuan\" (No.52 Th.11, 1959), \"Perempuan Kami\" (No.17 Th.12, 1959), \"Bunga-Bunga di Tangan (No.49 Th.12, 1960), dan \"Bapa\" (No.9 Th.13, 1960). Karyanya yang dimuat dalam majalah Budayaberjudul \"Tarohan Manusia\" ((No.7 Th.2, 1962), \"Pemasang Jerat\" (No.1\u20142 Th.3, 1963), \"Pelayaran\" (No.3 Th.10, 1963), dalam majalah Sastra berjudul \"Di Tengah Padang\" (No.2 Th.1, 1961), \"Bapa\" (No.3 Th.1, 1961), \"Nenenda\" (No.6 Th.1, 1961), \"Dalam Gelanggang\" (No.12 Th.2, 1962), \"Lorong\" (No.3\u20144 Th.3, 1963), \"Laki-Laki Berkuda\" (No.7-8 Th.3, 1963), \"Dua Buah Peluru Tunggal\" (No.11\u201412 Th.3, 1963), dalam majalah Horison berjudul \"Lembar-Lembar yang Hilang\" (No.5 Th.2, 1967), \"Tengah Hari\" (No.3 Th.3, 1968), dalam majalah Selecta berjudul \"Angin Selat Sunda\" (No.298 Th.9, 1967), 2 Hari Kemudian\" (No.338 Th.10, 1968).\u00a0","judul":"A_Bastari_Asnin (1939-1984 )","sumber":"http:\/\/ensiklopedia.kemdikbud.go.id\/sastra\/artikel"},{"id":"9faf3","pengunggah":"elvan","kategori":"Pengarang","konten":"A. Damhoeri yang dikenal sebagai pengarang novel Mentjari Djodoh (1935) dan Depok Anak Pagai (1935) dilahirkan di Desa Batu Payung, Kecamatan Perwakilan Sago Halaban, Kabupaten Lima Puluh Kota, Payakumbuh, Sumatra Barat, pada 31 Agustus 1915 dan meninggal 6 Oktober 2000. Nama lengkap pengarang ini adalah Ahmad Damhoeri. Di dalam karyanya ia selalu menyingkat namanya menjadi A. Damhoeri. Dia tidak mau dipanggil dengan sebutan si Ahmad (di Minangkabau nama Ahmad kadang-kadang bisa berubah menjadi Amaik). Nama panggilan sehari-harinya adalah Adam. Ada yang memanggilnya Bung Adam, ada pula yang memanggil Pak Adam. Karena di daerahnya nama A. Damhoeri sangat banyak, khusus untuknya ditambahkan kata pengarang. Jadi, ia dipanggil dengan sebutan A. Damhoeri Pengarang. Damhoeri termasuk salah seorang pengarang tiga zaman, yakni zaman penjajahan Belanda, zaman penjajahan Jepang, dan zaman kemerdekaan. Pada masa penjajahan Belanda, Damhoeri pernah menggunakan nama samaran, yaitu Aria Diningrat. Sehubungan dengan nama samaran itu, ada kisah tersendiri yang menyeret Damhoeri ke penjara. Damhoeri menulis karangan yang berjudul \"Timur Tanah Airku\" yang dikirimnya ke harian Persamaan, Padang. Damhoeri meminta agar redaksi harian itu menuliskan nama samarannya. Akan tetapi, dalam tulisannya itu ternyata yang tertera adalah nama aslinya, bukan nama samarannya. Tulisan Damhoeri itu dianggap menentang pemerintah yang sedang berkuasa sehingga dikategorikan sebagai kejahatan melalui pers (pers delict). Oleh karena itu, Damhoeri dan pemimpin harian itu diajukan ke pengadilan dan mereka dijatuhi hukuman penjara selama empat bulan. Walaupun demikian, ia terus menulis setelah keluar dari penjara. Pada masa penjajahan Jepang, Damhoeri menetap di desa kelahirannya, Batu Payung. Meski inspirasi untuk menulis tidak ada, sekali-sekali tulisannya masih muncul juga di harian Sumatra Shimbun (Medan) dan harian Padang Nippon (Padang). Selama perang kemerdekaan dan masa Agresi II, A. Damhoeri ikut bergerilya di Payakumbuh Selatan. Mula-mula ia aktif dalam barisan Penerangan Mobil Kewedanaan Militer Payakumbuh Selatan kemudian ia menjadi staf Wedana Militer Mahinuddin Hs. Pengalaman di masa gerilya ini direfleksikannya dalam novel Dari Gunung ke Gunung yang diterbitkan oleh penerbit Saiful, Medan, tahun 1950. Dari segi ekonomi Damhoeri termasuk keluarga yang tidak kaya. Oleh karena itu, ia berusaha keras meningkatkan taraf hidupnya. Menulis bukan satu-satunya ladang tempat mencari nafkah. Damhoeri mempunyai pekerjaan tetap sebagai pegawai negeri di Kantor Dinas Kebudayaan Daerah I Kota Payakumbuh. Lama-kelamaan kehidupannya berubah menuju perbaikan, terutama setelah beberapa karyanya dipesan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, dalam rangka paket pengadaan buku Inpres (Instruksi Presiden). Damhoeri mengawali pendidikannya di Sekolah Gubernemen Kelas Dua Bangkinang (Sumatra) dan tamat tahun 1928. Sekolah Gubernemen itu terkenal dengan nama Jongen Vervolgschool, lamanya dua tahun dan merupakan lanjutan dari sekolah desa yang lamanya tiga tahun. Damhoeri melanjutkan pendidikannya ke sekolah normal di Padang Panjang dan pendidikan tersebut diselesaikannya tahun 1934. Setelah itu, ia belajar berbagai ilmu (sastra, agama, dan lain-lain) secara autodidak. Karier Damhoeri di dunia pendidikan berawal dari guru sekolah desa pada tahun 1934\u20141936. Kemudian, ia mengajar di Sekolah Gemeente, Medan, tahun 1938\u20141940. Pada tahun 1940--1942 Damhoeri mengajar di HIS Medest, Medan. Pada tahun 1943--1946 Damhoeri mengajar di Sekolah Sambungan Payakumbuh. Dalam dunia pendidikan yang digelutinya lama-kelamaan kariernya pun makin meningkat, dari guru menjadi kepala sekolah desa. Dia menjadi kepala sekolah di Sitanang (Payakumbuh), Salibawan, dan Danau Bengkuang pada tahun 1947\u20141956. Pada tahun 1956--1958 Damhoeri menjabat Kepala Seksi Kesenian Perwakilan Daerah Kebudayaan Sumatra Tengah, Bukittinggi. Dari Bukittinggi Damhoeri pindah ke Padang menjabat Kepala Seksi Kesenian Inspeksi Daerah Kebudayaan Sumatra Barat, pada tahun 1960\u20141963. Pada tahun 1964\u20141971 Damhoeri menjabat Kepala Dinas Kebudayaan Daerah I Kota Payakumbuh sampai pensiun. Kariernya di bidang tulis-menulis berawal dari menulis di majalah Pandji Poestaka rubrik \"Taman Kanak-Kanak\". Damhoeri mulai menulis di majalah itu tanggal 27 November 1931. Tahun 1932\u20141934 Damhoeri membantu majalah Pandji Poestaka untuk mengisi rubrik \"Memadjoekan Doenia Kesoesastraan\". Dia ikut mendirikan majalah Doenia Pengalaman pada tahun 1938\u20141939 di Medan dengan kedudukan sebagai anggota redaksi. Novel Damhoeri yang pertama, Mentjari Djodoh, diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1935. Novel tersebut laris di pasaran sehingga dicetak ulang beberapa kali. Pada masa-masa selanjutnya Damhoeri tidak hanya menulis novel, tetapi juga menulis cerita pendek, cerita anak, puisi, esai, dan buku pelajaran. Bahkan, ia pernah menulis teka-teki sewaktu mengasuh ruang \"Kesusastraan\" di majalah Pandji Poestaka. Cerpen karya A. Damhoeri antara lain adalah (1) \"Lebai yang Sial\" dalam Pandji Poestaka No. 11\u201412 Tahun ke-10. (1932): 166\u2014168, (2) \"Redakteur Chilaf, Medewerker Djadi Mempelai\" dalam Pandji Islam No. 13 Tahun ke-5 (1938: 305\u2014306), (3) \"Sepaham Sependirian\" dalam Pandji Islam No. 4 Tahun ke-5 (1938: 33\u201495), (4) \"Rendang Padang\" dalam Pandji Islam No. 43\u201444 Tahun ke-8 (1941: 836\u2014839), (5) \"Djalan Belakang\" dalam Waktu No. 19 Tahun ke-9 (1955: 36\u201437), dan (6) \"Latifa\" dalam Waktu No. 26 Tahun ke-9 (1955: 36\u201438). Cerita bersambungnya antara lain (1) \"Ratu dari Pulau Mentawai\" dalam Pandji Islam No. 10\u201428 Tahun ke-8 (1941) dan \"Sahabat Sedjati\" dalam Pandji Poestaka tanggal 6, 13, 20, dan 27 Oktober 1933. Puisinya antara lain (1) \"Di Pekuburan\" dalam Pandji Poestaka No. 83 Tahun ke-11 (1933: 1299), (2) \"Ingin Beta hendak ke Sana\" dalam Pandji Poestaka No. 6 Tahun ke-11 (1933: 246), (3) \"Terkenangkan Bunda\" dalam Pandji Poestaka No. 93 Tahun ke-11 (1933: 1460), (4) \"Bedaja\" dalam Pandji Poestaka 13 Januari 1933, (5) \"Kendiri\" dalam Poedjangga Baroe No.12.","judul":"A_Damhoeri ( 1915-2000 )","sumber":"http:\/\/ensiklopedia.kemdikbud.go.id\/sastra\/artikel"},{"id":"a1243","pengunggah":"elvan","kategori":"Gejala Sastra","konten":"Wayang merupakan cerita yang bersumber dari kitab Ramayana dan Mahabarata yang kemudian dikembangkan dalam tradisi pertunjukan wayang. Wayang itu sendiri merupakan boneka tiruan orang yang terbuat dari pahatan kulit atau kayu yang dapat dimanfaatkan untuk memerankan tokoh dalam pertunjukan cerita wayang (drama tradisional) di Jawa, Bali, Sunda, dan sebagainya yang biasa dimainkan oleh seseorang yang disebut dalang dengan iringan musik tradisional gamelan. Pertunjukan wayang biasanya menggunakan kelir, secarik kain sebagai pembatas antara dalang dan penonton. Tradisi seni pentas itu dikenal sebagai seni pedalangan. Aspek tuturan (cerita) dalam wayang terdiri atas narasi (wacana) dan dialog (antawacana) yang secara keseluruhan ditampilkan sebagai satu pertunjukan orkestra, biasanya berlangsung semalam suntuk. Dalam pementasan kesenian wayang seni suara\/musik atau lagu biasanya didominasi oleh pesinden (penyanyi perempuan). Sementara kehadiran suara laki-laki berfungsi sebagai pemanis keseluruhan irama musik. Bagian terpenting dalam seni pewayangan ialah aspek seni sastranya yang mengambil sumber dari histori-mitologi India. Seluruh rangkaian cerita dalam wayang merupakan konflik perebutan kekuasaan dalam keluarga keturunan Raja Bharata di Kerajaan Astina. Kisah wayang yang bersumber dari India itu dalam kebudayaan Jawa berkembang dengan caranya sendiri, disesuaikan dengan kebutuhan dan kebudayaan setempat. Faktor yang membedakan di antara keduanya, antara lain adalah adanya tokoh punakawan (pelayan) dari keluarga Semar (dengan anak-anaknya: Petruk, Nala Gareng, Bagong, dan istrinya Dewi Sutiragen) dalam wayang Jawa sedangkan dalam versi wayang India tidak ada. Kehadiran punakawan yang berasal dari kalangan bawah, sebagai pelayan keluarga kerajaan, memiliki misi politis untuk mengoreksi kebijakan-kebijakan kerajaan. Selain itu, wayang pun dianggap sebagai sumber falsafah Jawa (khususnya). Setiap tokoh dengan watak dan perannya dipercaya menjadi simbol kehidupan manusia, baik horizontal (kemasyarakatan) maupun vertikal (religius). Itulah sebabnya wayang dianggap sebagai warisan nenek moyang bangsa Indonesia yang bernilai sangat tinggi (adiluhung) karena terbukti mampu tampil sebagai tontonan yang menarik sekaligus menyampaikan pesan-pesan moral keutamaan hidup. Cerita-cerita wayang terkenal di Indonesia, antara lain rangkaian kisah Mahabrata dan Ramayana. Ramayana dan Mahabharata yang aslinya berasal dari India telah diterima dalam pergelaran wayang di Indonesia sejak zaman Hindu hingga sekarang. Wayang seolah-olah identik dengan Ramayana dan Mahabharata. Cerita Ramayana dan Mahabarata Indonesia sudah berubah alur ceritanya dan berbeda dengan versi India. Ramayana dan Mahabharata versi India ceritanya berbeda satu dengan lainnya, sedangkan di Indonesia ceritanya menjadi satu kesatuan. Perbedaan yang sangat menonjol adalah falsafah yang mendasari kedua cerita itu, yaitu setelah masuknya agama Islam cerita diolah sedemikian rupa sehingga terjadi proses akulturasi dengan kebudayaan asli Indonesia. Nukilan-nukilan dari kedua babon cerita wayang tersebut, antara lain, adalah kisah Leluhur Pandawa, Pandawa Main Dadu, Srikandi Belajar Memanah, Gatotkaca Lahir, dan Parikesit. Pada tahun 1960-an di Indonesia terkenal pelukis cerita komik wayang bernama R.A. Kosasih dari Bandung. Selanjutnya, dalam kesusastraan Indonesia kisah-kisah dalam dunia pewayangan banyak mengilhami karya sastra Indonesia modern, misalnya novel Arjuna Wiwahahaha karya Noorca M. Massardi, drama \"Semar Gugat\" karya N. Riantiarno, dan novel Perang karya Putu Wijaya.","judul":"Cerita_Wayang","sumber":"http:\/\/ensiklopedia.kemdikbud.go.id\/sastra\/artikel"},{"id":"aa012","pengunggah":"elvan","kategori":"Gejala Sastra","konten":"Cerita silat sangat populer sebagai bacaan hiburan bagi para penggemarnya di Indonesia pada masa sekitar sebelum dan sesudah Perang Dunia II. Cerita silat sebagai hiburan biasanya hadir dalam bentuk cerita bergambar atau komik. Hampir bersamaan dengan popularitas komik, cerita silat muncul dalam bentuk film layar lebar atau bioskop. Dalam perkembangan selanjutnya, sesuai dengan kemajuan teknologi, cerita silat pun bisa dinikmati dalam bentuk CD\/VCD\/DVD yang menggunakan teknologi laser. Jika ditinjau dari aspek kesastraannya, cerita silat adalah kisah para jago silat atau pesilat (pendekar\/master) yang terlibat dalam suatu permasalahan pelik. Beberapa masalah yang biasa menghiasi cerita silat ialah balas dendam karena diri atau keluarga dianiaya\/dibunuh manusia zalim (Si Buta dari Gua Hantu); perebutan peta harta karun, perlawanan terhadap satu tirani (Jampang Mencari Naga Hitam, Panji Tengkorak), kekacauan akibat adudomba dua bersaudara\/kembar (Pendekar Binal), dan cerita silat yang tidak pernah sampai tamat atau berakhir di tengah jalan (Wiro Sableng). Wiro Sableng ditulis oleh Bastian Tito, yang kisah serialnya, antara lain berjudul, (1) Empat Berewok; (2) Mau Bernyanyi di Pajajaran; (3) Dendam Orang-orang Sakti; (4) Keris Tumbal Wilayuda; (5) Neraka Lembah Tengkorak; (6) Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga; dan (7) Tiga Setan Darah dan Cambuk Api Angin. Cerita silat memiliki ciri khas sebagai kisah kepahlawanan (heroisme) dan mengusung tema klasik tentang kejahatan yang akhirnya dikalahkan oleh kebenaran. Konflik dalam cerita silat selalu diselesaikan dengan keterampilan silat yang paling tinggi (sakti). Itulah sebabnya, timbul peribahasa, \"di atas langit masih ada langit\". Selain itu, terdapat beberapa cerita yakni (1) Misteri Kapal Layar Pancawarna; (2) Pendekar Kayu Harum; (3) Petualang Asmara; (4) Dewi Maut; Pendekar Lembah Naga; (5) Pendekar Sakti; (6) Pendekar Bodoh; (7) Suling Emas; (8) Mutiara Hitam; dan (9) Istana Pulau Emas. Di Indonesia ada dua jenis cerita silat, (1) silat Indonesia dan (2) cerita silat Tiongkok\/Cina. Kedua jenis cerita silat tersebut ditulis dalam bahasa Indonesia dan ada pula yang berbahasa Tionghoa. Kedua cerita itu, baik dari Indonesia maupun dari Tionghoa berlatar belakang sejarah negeri masing-masing. Sebelum Orde Baru, cerita silat berbahasa Indonesia dan bahasa Tionghoa sangat populer. Akan tetapi, pada masa pemerintahan Soeharto cerita silat bahasa Tionghoa dilarang. Beberapa tokoh penulis cerita silat Tionghoa di Indonesia sebagian besar penerjemah cerita silat Tionghoa. Sebelum Perang Dunia II, alih bahasa cerita silat yang terkenal adalah Ong Kim Tiat (1893\u20141964) dan Tan Tek Ho (1894\u20141944). Penulis cerita silat Indonesia, antara lain adalah S.H. Mintahardja, Herman Pratikno, Ganes Th., dan Bastian Tito, sedangkan penulis cerita silat Tiongkok, antara lain, adalah Kho Ping Hoo, Gan K.L., O.K.T. (Oey Kim Tiang). Menurut sejarah perkembangannya, cerita silat muncul di Indonesia pada awal abad ke-20 sebagai bagian dari sastra China Peranakan. Cerita silat dapat terus bertahan hingga sekarang, sementara sastra kaum peranakan tersebut sudah dianggap lenyap sejak Kemerdekaan yang diawali Perang Dunia II. Semula cerita silat masuk ke Indonesia sebagai karya terjemahan atau saduran dari cerita silat Tiongkok. Sejalan dengan munculnya genre sastra dalam surat kabar, antara tahun 1924--1930-an, cerita silat selalu muncul di media massa pada waktu itu dalam bentuk cerita bersambung (feuilaton), seperti Sin Po dan Keng Po. Kemudian, antara tahun 1930--1960-an cerita silat terbit sebagai buku khusus cerita silat dari penerbitan Goedang Tjerita (berubah jadi Tjerita Silat). Pada masa selanjutnya cerita silat lebih didominasi oleh karya terjemahan, yaitu dari karya Chin Yung, Ku Lung, dan Liang Yusheng dengan seorang penerjemah terkenal, yaitu Oey Kim Tiang (O.K.T.). Kisah Sia Tiauw Eng Hiong 'memanah Burung Rajawali' merupakan salah satu hasil terjemahan O.K.T. yang terkenal. Karya saduran terkenal yang lain ialah Pendekar Binal karya Ku Lung yang dikerjakan oleh Gan K.L.","judul":"Cerita_Silat","sumber":"http:\/\/ensiklopedia.kemdikbud.go.id\/sastra\/artikel"},{"id":"ad101","pengunggah":"elvan","kategori":"Lembaga Sastra","konten":"Dewan Kesenian Sumatra Utara (DKSU) merupakan lembaga seni, budaya, dan sastra yang berdiri pada tahun 1989 yang beralamat di Jalan Binjai Km 6, Tapian Daya, Medan. Lembaga ini pertama kali dipimpin oleh H. Jose Rizal Firdaus, S.H. selama dua periode tahun 1989\u20141999 kemudian dilanjutkan oleh Shafwan Hadi Umry sebagai ketua lembaga ini sampai tahun 2009. Visi dan misi DKSU adalah mewujudkan masyarakat Sumatra Utara yang peduli terhadap kesenian. Oleh karena itu, kegiatan utama DKSU menggalang sastrawan, budayawan, dan seniman Sumatra Utara, untuk mengembangkan sastra, budaya dan seni. Berbagai kegiatan yang sudah dilakukan DKSU, antara lain, adalah 1) mengirimkan duta kesenian Sumatera Utara yang dilakukan di Indonesia dan di luar negeri, 2) menyelenggarakan lokakarya, pameran, pertunjukan, dan diskusi sastra dan budaya Sumatra Utara, 3) menerbitkan buku antologi sastra, 4) mengadakan berbagai festival seni, budaya dan sastra di Sumatra Utara. DKSU termasuk lembaga pemerhati seni, budaya dan sastra dan senantiasa mengikuti berbagai kegiatan seminar yang dilakukan di Indonesia maupun di luar negeri. Negara yang pernah dikunjungi DKSU dalam mengikuti kegiatan seni, budaya dan sastra, antara lain adalah Thailand, Malaysia, dan Belgia. Berbagai prestasi yang sudah dicapai, antara lain menjadi tuan rumah Musyawarah Dewan Kesenian se-Indonesia di Medan tahun 1995.","judul":"Dewan_Kesenian_Sumatra_Utara (1989)","sumber":"http:\/\/ensiklopedia.kemdikbud.go.id\/sastra\/artikel"},{"id":"b20ff","pengunggah":"elvan","kategori":"Karya sastra","konten":"Adam Ma'rifat merupakan kumpulan enam cerita pendek karya Danarto, seorang pengarang yang dibesarkan dalam suasana dan alam berpikir kejawen atau tasawuf kejawen. Keenam cerpen yang terhimpun bertitimangsa antara tahun 1975 hingga tahun 1981. Buku kumpulan cerpen ini pertama kali diterbitkan di Jakarta oleh Balai Pustaka, 1982, setebal 72 halaman dengan ukuran 15 x 21 cm. Sampul buku bergambar kuda bersayap berkepala perempuan berambut panjang yang bermahkota. Dengan kumpulan cerpennya ini, Danarto menjadi penerima Hadiah Sastra DKJ 1982. Judul kumpulan cerpen Adam Ma'rifat diambil dari salah satu cerpen di dalamnya. Enam judul cerpen yang ada dalam kumpulan ini adalah \"Mereka Toh Tidak Mungkin Menjaring Malaikat\" (11 Maret 1975), \"Adam Ma'rifat\"(3 September 1975), \"Megatruh\"(28 Maret 1978), \"Lahirnya sebuah Kota Suci\"(17 September 1980) \"Bedoyo Robot Membelot\"(7 April 1981), dan cerpen yang berjudul gambar not balok dengan tanda-tanda bunyi 'ngung-ngung' dan 'cak-cak-cak' yang tidak bertitimangsa. Kandungan isi keenam cerpen itu berhubungan dengan dunia gaib dan sejenis pengalaman mistik yang diungkap dalam bentuk dongeng tentang malaikat Jibril, Adam Ma'rifat sebagai wujud pengetahuan tentang kehidupan hakiki, kota suci di dunia dalam penafsiran, serta tentang hakikat tarian Bedoyo. Semua cerpen itu sarat dengan sebutan benda dan gambaran peristiwa berwujud dongeng yang mengandung makna simbolik. Ada juga cerpen yang menampilkan dunia anak-anak, seperti dalam cerpen tentang Jibril. Dalam cerpen yang berjudul simbol gambar not balok dengan tanda-tanda bunyi 'ngung-ngung' dan 'cak-cak-cak', kita saksikan bahwa bukan hanya roh yang dapat merasuki para penari kecak, juga komputer bisa mengakibatkan orang kesurupan. Kalau bunyi 'ngung' dan 'cak' diucapkan akan terdengar seolah bunyi mobil yang digas yang menimbulkan bunyi 'ngung' kemudian kalau dipelankan injakan pedal gasnya akar terdengar bunyi 'cak-cak-cak'. Dalam cerita itu juga digambarkan bahwa waktu dan kejadian dapat bertukar tempat seakan-akan tidak ada urutan-urutan\u2014detik demi detik atau peristiwa demi peristiwa. Dalam cerita itu peristiwa sungguh-sungguh dan tak sungguh-sungguh terjadi membaur bersamaan secara rancu. Subagio Sastrowardoyo (1989) menyebut cerpen-cerpen Danarto yang terhimpun dalam kumpulan cerpen ini sebagai dongeng buat orang dewasa. Dongeng hasil renungan Danarto ke dalam cermin batinnya yang membayangkan dirinya sebagai manusia Indonesia yang dibesarkan dalam suasana dan alam berpikir kejawaan. Bukan jiwa kejawaan yang sudah membeku dalam pola-pola ketat adat dan tata cara, melainkan yang masih resah bergerak untuk menemukan kembali wawasan hidup yang kekal dan menginti. Cerpen-cerpen yang terhimpun dalam buku tersebut menampilkan ragam bercerita yang mengembalikan kesusastraan pada bentuk pengucapan yang paling sahaja untuk mengungkapkan tanggapan hidup pada tahap yang paling awal dan purba sehingga kita mendapat kesan seperti sedang menghadapi dunia dongeng. Bukan dongeng yang diperuntukkan bagi anak-anak, melainkan untuk ditangkap oleh jiwa yang dewasa yang sudah tersepuh oleh kegetiran pengalaman dan kegoncangan budaya. Subagio Sastrowardoyo lebih lanjut menyatakan bahwa, seperti dalam dongeng, di dalam cerita-cerita Danarto kategori-kategori berpikir menurut garis logika dan rasio tidak berlaku. Batas yang memisahkan individu dengan identitas dirinya menjadi kabur, bahkan lenyap. Demikian juga alam gaib dan alam kasat mata saling berbaur menjadi satu. Para pelaku terdiri atas manusia, hewan, benda-benda mati, juga zat kimia semua bergaul menyatu dan saling tegur-sapa, bahkan Tuhan turut terlibat sebagai individu pelaku dalam dongeng-dongeng ini. Tanggapan pengarang terhadap dunia sekeliling seperti dikemukakan di atas, menurut Subagio Sastrowardoyo, merupakan aspek dan kelanjutan dari pandangan filsafat-religius yang lebih pokok, yaitu pandangan pantheistis yang beranggapan bahwa segala sesuatu di dunia ini\u2014baik benda mati maupun hidup, tampak-tak tampak\u2014adalah perwujudan dan penjelmaan Yang Mahatunggal. Alam pantheisme Danarto, yang menampilkan segala yang ada turut berperan, mengalir, dan berkembang merupakan bagian dari kepercayaan mistik Jawa berkenaan dengan kopsep manunggalnya Kawula-Gusti, yang diceritakan dengan cara yang memikat. Lebih lanjut ditegaskan oleh Subagio Sastrowardoyo bahwa seperti dalam sebuah hikayat atau mitologi, yaitu tempatnya para dewa berperan dan berinteraksi dengan manusia, begitu juga halnya dalam cerpen-cerpen Danarto, Tuhan masih berakrab-akrab dengan makhluk-makhluknya yang berpijak di bumi. Bahkan, terhapus sudah batas-batas identifikasi antara Khalik dan makhluk. Wieranto (1984) menyatakan bahwa Adam Ma'rifat sebagai wirid modern karena di dalamnya terungkap hakikat Adam Ma'rifat dengan pengenalan yang melebar. Dinyatakan pula bahwa teknik penyajian yang luar biasa dalam cerpen-cerpen Danarto harus dilihat sebagai tanda yang harus diberi makna yang jelas. Hal itu diperkuat oleh penjelasan Danarto, yang dalam salah satu wawancaranya berkata bahwa apa yang telah disajikannya itu merupakan simbol-simbol. Agaknya memang Danarto sudah memiliki perhitungan bahwa cerpen-cerpennya tidak mungkin disajikan dengan cara lain.","judul":"ADAM_MA'RIFAT ( 1982)","sumber":"http:\/\/ensiklopedia.kemdikbud.go.id\/sastra\/media\/i"},{"id":"b46d0","pengunggah":"elvan","kategori":"Media Penyebar\/Penerbit Sastra","konten":"Majalah Aktuil merupakan majalah musik yang banyak memuat karya sastra. Majalah ini terbit dua minggu sekali dengan ukuran 21 x 28 cm dan diterbitkan oleh CV Aktuil yang beralamat di Lengkong Kecil 57, Bandung. Pemimpin redaksinya B. Juyanto dan Toto Rahardjo. Perwakilan redaksi majalah Aktuil terdapat di Sumatra Utara, Sulawesi Selatan, DKI Jakarta, dan Jawa Timur. Majalah ini terbit dengan sampul kertas luks, tetapi di dalamnya digunakan kertas koran. Tiras Aktuil menembus angka 126 ribu eksemplar. Oplah sebesar itu dicapai dalam kurun 1973-1974 atau setelah Aktuil Fans Club, komunitas kaum muda pembaca Aktuil, terbentuk di berbagai daerah. Di Jakarta, Aktuil Fans Club diurus kelompok musik Panbers. Sedangkan di Bandung, ditangani antara lain oleh A.M. Ruslan (penanggung jawab redaksi Pikiran Rakyat). Akhir 1978, oplah Aktuil secara dramatis meluncur tajam. Tinggal 3.000 atau 4.000 eksemplar. Pada tahun 1970-an, majalah ini tercatat membuka jaringan kantor perwakilan dan korespondennya di luar negeri (Hamburg, Munich, Berlin, Swedia, Stockholm, Ottawa, Tokyo, Hong Kong, Kowloon, New York). Pada tahun 1975, Aktuil juga mengejutkan publik Indonesia dengan mengundang kelompok musik Deep Purple untuk berpentas di Indonesia. Jenis rubrik yang dimuat dalam majalah ini berupa pendapat-pendapat pembaca, artikel tentang politik, budaya, kesenian, hukum, film, ekonomi, dan biografi. Bentuk karya sastra yang dimuat adalah cerpen, puisi, dan kritik esai. Banyak sastrawan terkenal menulis dalam majalah ini, seperti Sitor Situmorang, W.S. Rendra, Ikranegara, Hamid Djabbar, Sutardji Calzoum Bachri, Umar Kayam, Abdul Hadi W.M., dan Subagio Sastrowardoyo. Melalui majalah ini Remy Sylado dan beberapa kawannya memproklamasikan karya puisi mbeling, yakni puisi yang mengusung tema anti kemapanan dan protes sosial. Dalam majalah Aktuil terdapat ruang khusus \"Surat Pembaca\". Pengirimnya berasal dari berbagai kota, seperti Surabaya, Manado, Medan, Yogyakarta, Bali, Padang, Jakarta, dan Semarang. Selain itu, majalah Aktuil juga memuat ruang khusus sastra, yaitu \"Prokem\" dengan redaktur Nurhadie Irawan. Pada tahun 1980 majalah ini memuat lembaran khusus untuk penyair. Jenis karya sastra yang berbentuk cerpen banyak dimuat dalam majalah ini, seperti (1) \"Iyem yang Babu dan yang Ibu\" karya Djoko Quartantyo, Tahun XII No. 11, 24 Maret 1980; (2) \"Mamadon Galogo\" karya Bram Andrianto, Tahun XII No.16, 2 Juni 1980; (3) \"Dua Wanita\" karya Anastasia W., Tahun XII No. 18, 30 Juni1980; (4) \"Dari Cupido ke Narita\" karya Buyunk, Tahun XII No. 21, 18 Agustus 1980; (5) \"Perjanjian dengan Perdamaian\" karya Asbari Nurpatria Krisna, Tahun XII No. 23, 18 Agustus1980; (6) \"Surat Seorang Suami\" karya J.S. Giovani Sitohang, Tahun XIII No. 18, 6 Juli 1981 (7) \"Yang Lalu Biar Saja Berlalu\" karya Otje A, Tahun XIII No. 20, 3 Agustus1981; (8) \"Cinta Seorang Seniman\" karya Zainuddin Tamir Koto, Tahun XIII No. 20, 3 Agustus1981; (9) \"Melawan Misteri\" karya Firman Triyadi, Tahun XIII No. 22, 31Agustus 1981; (10) \"Protes\" karya Firman Triyadi, Tahun XIII No. 22, 31Agustus 1981; (11) \"Sahabat\" karya Afrizal Anoda, Tahun XIII No. 25, 12 Oktober 1981; (12) \"Si Pardidam\" karya Jack Koetabarat, Tahun XIV No. 1, 15 November 1981; (13)\"Anugerah\" karya Firman Triyadi, Tahun XIV No. 2, 30 November 1981; (14) \"Lingkungan\" karya Pudwianto Arisanto, Tahun XIV No. 3, 12 Desember 1981; (15) \"Tumbal Memperpanjang Hidup\" karya Mp Wesi Geni, Tahun XIV No. 4, 24 Desember 1981; (16) \"Episode Manis di Ginza\" karya Buyunk, Tahun XIII No. 6, 22 Januari 1981 (17); \"Apa yang Bisa dan Apa yang Tidak Bisa Kawin\" karya Teguh Esha, Tahun XIII No. 8, 16 Februari 1981; (18) \"Buku Harian\" karya Jack Hutabarat, Tahun XIII No. 9, 2 Maret 1981; (19) \"Maria Aku Berdiri antara Hidup Menanti Mati\" karya D. Sj. Giovani Sitohang, Tahun XIII No. 10, 16 Maret 1981; (20) \"Yang Paling Gombal dalam Hidup Ini\" karya Mira Sato, Tahun XIII No. 11, 30 Maret 1981; (21) \"Pertaruhan\" karya Anton Cheko, Tahun XIII No. 14, 11 Mei 1981; (22) \"Santet\" karya Firman Triyadi, Tahun XIII No. 15, 25 Mei 1982; dan (23) \"Pareira\" karya Agus Susarso, Tahun XIII No. 16, 8 Juni 1981. Puisi juga banyak dimuat dalam majalah ini, antara lain (1) \"Kebayoran\", (2) \"Norodom-Norodom\", dan (3) \"Langit di Kaki Tentara\" karya Nurhadi Irawan, Tahun XIII No. 20, 3 Agustus 1981; (4) \"Lima Puisi Ikranegara\", Tahun XIII No. 11, 30 Maret 1981; (5) \"Lima Puisi Ali Ahmad Said\", Tahun XIII No. 12, 13 April 1981; (6) \"Empat Puisi Pablo Neruda\", Tahun XIII No. 14, 11 Mei 1981; (7) \"Puisi-Puisi Hamid Djabbar\" karya Eksekusi, \"Telegram\", \"Slogan\", dan \"UUUUU\", Tahun XIII No. 15, 25 Mei 1981; (8) \"Balon Gas\"; (9) \"Senandung di Hutan Rara\", dan (10) \"Paradoks\" karya Sandy Tyas, Tahun XIII No. 16, 8 Juni 1981; (11) \"Nyanyian Seorang Pelarian\"; (12) \"Beri Aku Seberkas\"; (13) \"Ke dalam Luka-Luka Kuserahkan Sangsiku\"; dan (14) \"Soliloqui\" karya Eddy Soet Riyono, Tahun XII No. 8, 11Februari 1980. Selain cerpen dan puisi, majalah Aktuil juga memuat kritik dan esai, seperti (1) \"Sajak Sandy Tyas Tidak Hanya Sajak Protes Sosial\" karya Sutardji Calzoum Bahri, Tahun XIII No. 22, 31Agustus 1981; (2) \"Darmanto Penyair Kurang Berbobot\" karya Subagio Sastrowardoyo, Tahun XIII No. 23, 14 September 1981; (3) \"Teater Putu Wijaya Penganjur Paham Euthanasia Terbalik\" karya Nurhadi Irawan, Tahun XIII No. 24, 28 September 1981; (4) \"Menyimak Puisi Penyair Cilik Evelyn\" karya Ny. Sjamsoeddin Ch. Haesy, Tahun XIII No. 26, 2 November 1981; (5) \"Sastra Indonesia Masih Konsep Wayang dan Dongeng Pelanduk\" karya Nurhadi Irawan, Tahun XII No. 26, 2 November 1981; (6) \"Doel Kocek\" karya Nurhadi Irawan, Tahun XIV No. 4, 24 Desember 1981; (8) \"Pembacaan Sajak di TIM Kenapa Harus Diteriaki\" karya Djoko Quartantyo, Tahun XIII No. 6, 22 Januari 1981; (9) \"Soemardjono Mempertahankan Kehormatannya\" karya Wibowo Soenadji, Tahun XIII No. 9, 2 Maret 1981; (10) \"Bengkel Teater Rendra Sekarang\" karya Janoe, Tahun XIII No. 9, 2 Maret 1981; (11) \"Tuan Kondektur Sebuah Teater\" karya AS, Tahun XIII No. 11, 30 Maret 1981; (12) \"Melawan Mesin\" karya W.S. Rendra, Tahun XIII No. 13, 27 April 1981; (13) \"Srimulat atau Rendra Mana yang Kita Butuhkan\" karya Umar Kayam, Tahun XIII No. 14, 11 Mei 1981; (14) \"Sastra Berhasil Dipayungi Raja\" karya Agus Susarso, Tahun XIII No. 16, 8 Juni 1981; (15) \"Zatako dan Puisi-Puisinya karya Irawan dan Beny pun Pulang Kandang\" karya Nirwan, Tahun XIII No. 17, 22 Juni 1981; (16) \"Teater Mandirinya Putu Wijaya Diangkat dari Kisah Tragis Kematian Kusni Kasdut\" karya Firdaus H.M., Tahun XII No. 20, 28 Juli 1980; (17) \"Novel Merdeka Tanahku Merdeka Negeriku\" karya W.Y., Tahun XII No. 23, 14 September 1980; (18) \"Main Teater Menjadi Setting\" karya Djoko Quartantyo, Tahun XIII No. 1, 10 November 1980; dan (19) \"Puisi-Puisi Pancasila, Why Not?\" karya Drs. Nurden Haka, Tahun XIII No. 3, 8 Desember 1980. Selain itu, biografi para tokoh politik, negarawan, dan sastrawan juga dimuat dalam majalah ini, seperti \"Biografi Sitor Situmorang\", Tahun XII No. 11, 24 Maret 1980.","judul":"Aktuil (1972-1981)","sumber":"http:\/\/ensiklopedia.kemdikbud.go.id\/sastra\/artikel"},{"id":"b99fd","pengunggah":"elvan","kategori":"Lembaga Sastra","konten":"Aliansi Sastrawan Aceh (ASA) ini didirikan 22 Maret 1993 oleh beberapa wartawan dan penyair\/penulis Aceh, seperti Ahmad Rivai Nasution (almarhum), Hasyim K.S. (almarhum), Rr. Suminarti, Nani H.S., Kurniawan Sayuti, Doel CP Allisah, Lisda Arwadeni, dan Mira Miranda. Lembaga memperbaharui aliansi ini dengan Akte Notaris Yuniarti, S.H., M.Kn, Nomor 1\/29 November 2006. Pada awalnya, ASA hanyalah sebuah kelompok diskusi yang berkembang menjadi wadah pendokumentasian karya-karya sastrawan Aceh dan unit penerbitan buku-buku karya sastrawan\/penulis Aceh.Aliansi ini mencetak sedikitnya 11 buku karya sastrawan Aceh. Dari 11 buku tersebut, tiga di antaranya berupa biografi dari tiga sastrawan tersohor di Aceh yang hilang dalam musibah tsunami, yakni Restu Penyair karya A.R. Nasution (Dev Vareyra), Yang karya M. Nurgani Asyik, dan Luka Poma karya Maskirbi, sedangkan tujuh buku lainnya yang dicetak adalah Antologi Cerpen Orang-Orang Pos 327 karya M.N.Age, Antologi Puisi Tarian Cermin karya Mustafa Ismai, Kumpulan Esai Sastra dan Problematikanya di Aceh karya Mukhlis A. Hamid, M.S, Novel Romansa Taman Cinta karya Arafat Nur, Hikayat Hikeumah Tsunami karya Ameer Hamzah, Roman Haba Angen Pot karya Hasbi Burman, Hikayat Semangat Aceh karya Hilmi Hasballah, dan Antologi Puisi Nyanyian Miris (The Sadness Song) karya Doel C.P. Allisah. Sebelumnya, ASA juga telah menerbitkan Buku Antologi Puisi Lagu Kelu bekerja sama dengan Japan Net-Tokyo (2005). Alamat sekretariat Aliansi Sastrawan Aceh adalah Jln. Geulumpang, Nomor 6, Meunasah Papeun, Lamnyong, Banda Aceh\/Aceh Besar 23371, telp. (0651) 7551142.","judul":"ASA (1993)","sumber":"http:\/\/ensiklopedia.kemdikbud.go.id\/sastra\/artikel"},{"id":"bef2a","pengunggah":"elvan","kategori":"Hadiah\/Sayembara Sastra","konten":"Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN) ini sebelumnya bernama Lembaga Kebudayaan Indonesia. Badan ini memberikan hadiah untuk seni tari, foto, poster, ilustrasi, lukisan, dan patung, serta memberikan hadiah untuk seni sastra, seperti novel, cerpen, puisi, kritik\/esai, karya sastra terjemahan, dan drama. BMKN memberikan hadiah sastra pertama kali pada tahun 1952. Hadiah sastra BMKN diberikan setahun sekali dan karya sastra yang terbit tahun-tahun sebelumnya tidak dinilai. Oleh karena itu, cerpen \"Dia yang Menyerah\" karya Pramoedya Ananta Toer yang terdapat dalam kumpulan cerpen Cerita dari Blora, yang merupakan kumpulan cerpen yang memperoleh hadiah sastra BMKN tahun 1952, tidak dinilai karena sudah diterbitkan sebelum tahun 1952. Pemberian hadiah sastra BMKN bertujuan menumbuhkan minat penulis-penulis baru yang berbakat agar tercipta karya sastra yang bermutu. Kriteria karya sastra yang memperoleh hadiah, antara lain, adalah (1) sastra sebagai sebuah ekspresi seni; (2) karya sastra harus mengandung cita dan pengucapan yang artistik yang mampu menyentuh batin pembaca; dan (3) karya sastra harus mengandung amanat dan misi kemanusiaan yang murni. Hadiah BMKN diberikan kepada pemenang berupa uang dan piagam. Hadiah sastra BMKN tahun 1952 sebesar Rp1.000,00, baik prosa, puisi, maupun sastra terjemahan. Juri hadiah sastra BMKN tahun 1952--1953 terdiri atas lima orang, yaitu H.B. Jassin, Bakri Siregar, Rivai Apin, Mr. St. Takdir Alisjahbana, Usman Effendi, dan Noer St. Iskandar. Penerima Hadiah I tidak ada karena tidak ada karya sastra yang memenuhi syarat sebagai pemenang terbaik. Oleh karena itu, panitia hanya memberikan \"Hadiah Penghargaan dari Hadiah Sastra Indonesia-Baru Tahun 1952\", masing-masing sebesar Rp1.000,00. Besarnya hadiah sastra BMKN tahun 1956\u20141957 kategori prosa adalah Hadiah I Rp2.000,00, Hadiah II Rp1.500,00, dan Hadiah III Rp1.000,00. Untuk kategori puisi Hadiah I Rp2.000,00, Hadiah II Rp1.500,00, dan Hadiah III Rp1.000,00. Jurinya ialah H.B. Jassin, Nuraini Sani, Hariyadi S. Hartowardojo, Nugroho Notosusanto, Kirdjomuljo, Taslim Ali, dan A.T. Effendi. Tahun 1957--1958 BMKN telah memberikan hadiah sastra untuk penulis puisi, drama, novelet, dan cerpen. Pemenang hadiah itu berjumlah sembilan sastrawan, antara lain Ramadhan K.H., Hr. Bandaharo, Utuy T. Sontani, Nasjah Djamin, Mh. Rustandi Kartakusumah, Toha Mochtar, Trisnojuwono, Pramoedya Ananta Toer, dan Ajip Rosidi. Yang bertindak sebagai juri adalah Achdiat Kartamihardja (Ketua), Dodong Djiwapradja (Sekretaris), Subagio Sastrowardojo, Boejoeng Saleh, dan Anas Ma'ruf (masing-masing sebagai anggota). Para pemenang hadiah sastra BMKN ialah sebagai berikut. Puisi Ayip Rosidi, \"Pesta\" Hr. Bandaharo, \"Dari Daerah Kehadiran: Lapar dan Kasih\", 1958 M. Taslim Ali, \"Puisi Dunia I dan II\" (terjemahan), 1952 Ramadhan K.H., \"Priangan si Djelita\", 1958 S. Rukiah, \"Tandus\", 1952 Toto Sudarto Bachtiar, \"Etsa\", 1956. W.S. Rendra, \"Ballada Orang-Orang Tertjinta\", 1956 Cerpen Pramoedya Ananta Toer, \"Tjerita dari Blora\", 1952 Achdiat Kartamihardja, \"Keretakan dan Ketegangan\" Ajip Rosidi, \"Sebuah Rumah Buat Hari Tua\", 1957 Mochtar Lubis, \"Perempuan\" Pramoedya Ananta Toer, \"Tjerita dari Djakarta\", 1957 Sitor Situmorang, \"Pertemuan dan Saldju di Paris\" Trisnojuwono, \"Laki-Laki dan Mesiu\", 1957 Novel Mochtar Lubis, \"Djalan Tak Ada Udjung\", 1952 Toha Mochtar, \"Pulang\", 1958 Drama Kuntowijoyo, \"Rumput-Rumput Danau Bento\" Mh. Rustandi Kartakusuma, \"Bunga Merah jang Merah Semua Bunga Putih yang Putih Semua\", 1958 Nasjah Djamin, \"Sekelumit Nyanyian Sunda\", 1957 Utuy Tatang Sontani, \"Awal dan Mira\", 1952 Utuy Tatang Sontani, \"Saat jang Genting\", 1958","judul":"Hadiah_Badan_Musyawarah_Kebudayaan_Nasional (1952)","sumber":"http:\/\/ensiklopedia.kemdikbud.go.id\/sastra\/artikel"},{"id":"c1fe8","pengunggah":"elvan","kategori":"Lembaga Sastra","konten":"tes","judul":"tes","sumber":"122"},{"id":"c85e4","pengunggah":"elvan","kategori":"Lembaga Sastra","konten":"Dewan Kesenian Lampung merupakan lembaga yang menjadi penghubung antara Pemerintah Daerah Lampung dengan seniman Lampung. Pembentukan lembaga ini merupakan tindak lanjut instruksi Menteri Dalam Negeri No. 5.A tahun 1993, yang sebagian berisi instruksi gubernur dan bupati\/walikota seluruh Indonesia agar membentuk Dewan Kesenian di daerahnya masing-masing. Oleh karena itu, pada tanggal 9 September 1993 Dewan Kesenian Lampung (DKL) didirikan. Drs. H. Indra Bangsawan selaku Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Lampung dipercaya oleh para seniman Lampung untuk menjadi ketua DKL yang pertama. Pada awal berdirinya, DKL belum memiliki gedung sendiri. Atas rekomendasi Gebernur Lampung, Poedjono Pranyoto, GOR Saburai dijadikan sebagai kantor DKL. Setelah beberapa tahun berkantor di GOR Saburai, DKL pindah dan menempati ruang pameran yang ada di kawasan Taman Budaya Lampung. Kini, DKL berkantor di GOR Wayhalim. Pindahnya kantor DKL dari satu tempat ke tempat yang lain tidak menyurutkan semangat para seniman Lampung untuk terus berkarya. Pada awal berdiri, DKL sudah dihadapkan dengan berbagai macam persoalan, seperti dana dan apresiasi seniman yang tak terbendung. Seiring dengan berjalannya waktu, masalah itu bisa teratasi dan DKL saat ini, benar-benar menjadi \"rumah\" bagi para seminan Lampung. Berbagai macam kegiatan seni pernah dilaksanakan oleh DKL. Kegiatan yang rutin dilaksanakan setiap tahun oleh DKL adalah Krakatau Award yang pertama kali diadakan pada tahun 2002. Kegiatan yang dilakukan DKL, antara lain adalah (1) Tahun 2002\u20142005 mengadakan Krakatau Awards, (2) Tahun 2003 menggelar temu teater kampus, (3) Komite film memproduksi film berjudul \"Orang Nayah Agum\" (Orang Banyak Mau), (4) Pesta Kesenian Lampung (25\u201429 Agustus 2005), (5) Lampung Arts Festival (Festival Kesenian Lampung) tanggal 6\u201411 Januari 2003, (6) Festival Penyair Ujung Pulau yang diikuti 25 penyair, di antaranya adalah Afrizal Malna, Edy A. Efendi, Nur Zam Hoe, Oyos Saroso HN, dan Syaiful Irba Tanpaka, dan (7) Untuk seni rupa memajang 60 karya pelukis dari 30 perupa dan 20 foto dari 5 fotografer.","judul":"Dewan_Kesenian_Lampung (1993)","sumber":"http:\/\/ensiklopedia.kemdikbud.go.id\/sastra\/artikel"},{"id":"d651a","pengunggah":"elvan","kategori":"Lembaga Sastra","konten":"Dialog Utara merupakan sebuah organisasi yang melibatkan beberapa negara yaitu Malaysia, Indonesia dan Thailand. Organisasi ini berdiri pada tahun 1981 yang digagas oleh Lazuardi Anwar. Pada awalnya Lazuardi Anwar mengundang beberapa sastrawan Sumatra Utara, yaitu Damiri Mahmud, A. Rahim Qahar, Zainuddin Tamir Koto, dan Rusli A. Malam. Dalam pertemuan itu, Lazuardi mengatakan bersama Prof. Ismail Hussein bahwa dia telah menjajaki kemungkinan akan membuat sebuah pertemuan Medan dan Pulau Penang yang diberi nama \"Dialog Utara\". Adapun perlunya dibentuk Dialog Utara adalah untuk mengekalkan persaudaraan dua kota serumpun, yaitu Medan-Pulau Pinang dengan istilah twin city (kota kembar). Dari hasil pertemuan itu terbentuklah sebuah ikatan yang diberi nama \"Dialog Utara\". Gagasan ini mendapat sambutan dari E.W.P. Tambunan, pada waktu itu menjabat sebagai Gubsu, kemudian M. Yazid memberikan pinjaman salah satu ruangan di Balai Wartawan, Jalan Adinegoro sebagai sekretariat Dialog Utara. Pada tanggal 4 Agustus 1982 diadakan pertemuan pertama Dialog Utara di Penang. Adapun sastrawan yang berangkat adalah N.A. Hadian, Ali Soekardi, A.A. Bungga, A.N. Zaipah, Zakaria M. Passe, Murni Ariyanti Pakpahan, B.Y. Tand, Herman K.S., dan sebagai pemakalah diputuskan Drs. Ahmad Samin Siregar. Sastrawan dari Sumatra Barat juga hadir sebagai peserta undangan, dan dari Medan yaitu Harris Efendi Tahar dan Muhardi juga hadir. Dalam pertemuan Dialog Utara di samping diadakan diskusi tentang sastra dan budaya juga diluncurkan sebuah buku antologi bersama yang diberi nama \"Titian Laut 1\" yang diterbitkan oleh Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia. Pada malam penutupan acara tersebut, yang diadakan di Universiti Sains Malaysia, ditandatangani sebuah kesepakatan bersejarah oleh Lazuardi Anwar (Indonesia) dan Prof. Ismail Hussein (Malaysia). Isi kesepakatan itu menumbuhkan sebuah pertemuan bernama Dialog Utara, sebagai wadah pertemuan sastrawan Medan dan sastrawan pulau Penang yang akan berlangsung dua tahun sekali secara bergantian. Pertemuan kedua disepakati di Medan pada tahun 1984. Dialog Utara II meluncurkan buku Antologi Muara1 dan Dialog Utara III di Perlis tahun 1986 meluncurkan buku Titian Laut II. Dialog Utara IV di Medan, tahun 1988, diadakan di samping Lapangan Merdeka (depan Grand Hotel), sehingga jalan tersebut diberi nama Jalan Pulau Pinang. Pada waktu itu seminar diadakan di Garuda Plaza Hotel dan diluncurkan buku Muara II. Pertemuan Dialog Utara ini dianggap paling sukses dan meriah. Dialog Utara V diadakan di Alor Star, Kedah, pada tahun 1990. Pertemuan ini meluncurkan buku Titian Laut III. Dalam pertemuan ini, koordinator mengundang peserta di luar Medan, yaitu dari Riau, Jakarta, dan Aceh. Dialog Utara VI pada tahun 1995 seharusnya diadakan di Medan, tetapi diputuskan di Aceh atas kesepakatan Gapena (persatuan penulis dari Pulau Penang, Perlis, Kedah, dan Perak). Pertemuan ini menghasilkan buku Maunt Mata yang artinya 'air mata'. Dialog Utara VII dilaksanakan di Perak pada tahun 1997. Dalam pelaksanakan Dialog Utara ini koordinator berganti, terpilihlah Syafwan Hadi Umry sebagai koordinator Dialog Utara untuk Medan sampai sekarang. Pada pertemuan ini diluncurkan buku Antologi Puisi Titian Laut III. Tahun 1999 Dialog Utara IX diadakan di Pattani, Thailand Selatan. Pertemuan Dialog Utara ini meluncurkan buku Antologi Sastra yang berjudul Sankalakiri. Tahun 2001, Dalog Utara diadakan di Hotel Tor Sibohi, Sipirok, Tapanuli Selatan, Sumatra Utara. Dalam pertemuan ini diluncurkan buku antologi puisi yang berjudul Muara III. Tahun 2003 Dialog Utara diadakan di Thailand Selatan yang menghasilkan antologi sastra Sangkalakiri","judul":"Dialog_Utara (1981)","sumber":"http:\/\/ensiklopedia.kemdikbud.go.id\/sastra\/artikel"},{"id":"d7357","pengunggah":"elvan","kategori":"Media Penyebar\/Penerbit Sastra","konten":"Majalah Arena adalah majalah kebudayaan yang diterbitkan pertama kali tanggal 1 Mei 1955 oleh penerbit Firma Pustaka Maju, Jalan Sutomo P. 342, Medan, Sumatra Utara dengan moto \"Segar Bernilai dan Populer.\" Pada tahun 1957 motonya berubah menjadi \"Untuk Politik, Kebudayaan dan Pengetahuan Umum\". Majalah Arena terbit dua kali sebulan (dwimingguan) dengan ukuran 21 x 28 cm. Jenis kertas yang digunakannya, baik untuk halaman isi maupun halaman sampul, adalah kertas koran. Harga majalah ini per eksemplar Rp3,50 dan untuk luar negeri Rp4,00. Harga langganan per kuartal (6 nomor) Rp20,00. Cara berlangganan membayar 3 bulan di muka dan setelah uang diterima akan dikirim majalahnya. Staf redaksi majalah Arena pada tahun 1955 adalah M. Arbie (direksi), Abbas Hassan dan Asrul Tumenggung (pemimpin redaksi), Muslim R. dan Nasrun Araby (tata usaha). Pada tahun 1956 pengelola majalah ini mengalami perubahan: Mahdhar (direksi), Pardjo (wakil direksi), Abbas Hassan (ketua redaksi), Asrul Tumenggung, Matu Mona, dan Marzuki Markiman (sebagai dewan redaksi). Pada tahun 1957 ada perubahan staf redaksi, yaitu Mahdhar (direksi), Matu Mona (pemimpin redaksi), Marzuki Markiman (wakil pemimpin redaksi), dan Dhalika Tadaus (redakksi). Rubrik yang terdapat dalam majalah Arena ini bermacam-macam, yaitu olahraga, politik, ekonomi, sosial, sastra, pendidikan, adat istiadat, agama, dan biografi. Tahun 1957 rubrik dalam majalah itu sudah berkurang, yang masih ada ialah rubrik politik, kebudayaan, pengetahuan umum, dan sastra. Ruang khusus sastra berjudul \"Sipongang\" memuat puisi, cerita pendek, cerita bersambung, drama, dan kritik esai secara rutin. Editor di bidang sastra adalah Asri Muchtar dan Marzuki Markiman. Selain itu, untuk memberikan kesempatan kepada pembaca menyampaikan gagasannya, majalah Arena menyediakan ruang khusus untuk pembaca (surat pembaca). Penulis \"surat pembaca\" tersebut berasal dari kalangan masyarakat terpelajar dari berbagai kota, seperti Lhok Seumawe, Riau, Bukittinggi, Padang, Solok, Jakarta, Bogor, Bandung, Cirebon, Malang, Makassar, Manado, Kutoarjo, Bukittinggi, Medan, Malang, dan Ambon. Majalah ini tidak hanya dipasarkan di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Agen di luar negeri terdapat di Singapura dan Malaysia, sedangkan di dalam negeri,antara lain di Medan, Kotaraja, Padang, Jakarta, Tegal, Yogyakarta, Singaraja, dan Manado. Majalah Arena cukup diminati pembaca. Hal itu terlihat dari pertambahan tiras penerbitannya. Pada tahun pertama terbit jumlah tirasnya adalah 3.000 eksemplar, tahun kedua, yaitu tanggal 15 September 1956, tirasnya berjumlah 10.000 eksemplar. Sasaran pembaca majalah Arena adalah masyarakat kelas menengah. Majalah Arena mempunyai peran penting dalam perkembangan sastra Indonesia karena banyak karya sastra yang diterbitkannya. Tahun 1955 majalah ini menerbitkan 20 puisi, 28 cerita pendek, dan 2 cerita bersambung; tahun 1956 menerbitkan 20 puisi, 24 cerita pendek, 4 cerita bersambung, dan 9 esai; tahun 1957 menerbitkan 41 puisi, 27 cerita pendek, 1 cerita bersambung, 1 drama, dan 19 esai; dan tahun 1958 menerbitkan 21 puisi, 3 cerita pendek, dan 1 cerita bersambung. Penulis sastra yang muncul dalam majalah ini cukup banyak dan namanya terkenal sampai saat ini, seperti Matu Mona, Suwardi Idris, A. Damhoeri, Bokor Hutasuhut, Boejoeng Saleh, Pramoedya Ananta Toer, L.K. Ara, dan Djamil Suherman. Selain itu, ada juga penulis pemula seperti Iwi Kentjana, A. Soekardi, A. Manan Thaib, Bachran, Burhanuddin Ahmad, D. Ch. Nasution, W.A. Kemals Django, D. Zauhidhie, Asri Muchtar, Tedja, A. Fauzy, Bachtiar Effendi, dan Raizul Masa. Di antara karya sastra yang diterbitkan dalam majalah Arena dapat disebut, antara lain, cerita pendek \"Membalas Dendam\" karya El Fakry, dalam Arena No. 3 Tahun I, 1 Juni 1955; \"Sebuah Kegagalan\" karya A. Damhoeri, dalam No. 4 Tahun II, 15 Februari 1956; \"Gadis Desa Tarogong\" karya Matu Mona dalam Arena No. 10 Tahun II, 15 September 1956, dan \"Kisahnya Haji Solihun\" karya Ali Sukardi dalam Arena >No. 5 Tahun II, 1 Maret 1956; dan \"Terlalu Lekas Menuduh yang Bukan-Bukan\" karya Iwi Kentjana dalam Arena No. 14 Tahun. II, 15 November 1956. Puisi \"Yakinkalah Teman\" karya Andang Teruna dalam Arena No. 1 Tahun II, 1 Mei 1955; \"Aku Pasti Kembali\" karya Kemala Widjaya dalam Arena No. 9 Tahun I, 1 September 1955; \"Jumpa I dan II\" karya L.K. Ara dalam Arena No. 6 Tahun III, 15 Maret 1957; dan \"Derita\" karya W.A. Kemala Django dalam Arena No. 7 Tahun III, 1 April 1957. Selain karya sastra yang berbentuk puisi, dan cerpen, artikel yang berupa kritik sastra juga banyak diterbitkan dalam majalah Arena, antara lain, \"Kebuayaran Pribadi\" oleh Bokor Hutasuhut dalam Arena No. 6 Th. III, 15 Maret 1957; \"Puisi Modern dan Spisipiknya\" oleh H.A. Dharsono dalam Arena No. 8\u20149 Tahun III, 1 Mei 1957; dan \"Maju Mundurnya Prosa Indonesia\" oleh Matu Mona dalam Arena No. 4 Tahun III, 15 Februari 1957. Majalah Arena pada tanggal 7 Juli 1957 bekerja sama dengan Jawatan Kebudayaan Perwakilan Sumut mengadakan Pertemuan Sastra yang diikuti oleh para sastrawan.","judul":"Arena (1955-1957)","sumber":"http:\/\/ensiklopedia.kemdikbud.go.id\/sastra\/artikel"},{"id":"fa1be","pengunggah":"elvan","kategori":"Lembaga Sastra","konten":"Dardanella merupakan rombongan atau kelompok sandiwara yang disebut sebagai Opera Melayu (semula bernama The Malay Opera). Pembentukannya diprakarsai oleh Willy Klimanoff, anak seorang pemain sirkus terkemuka bernama A. Klimanoff kelahiran Rusia. Opera Melayu bernama The Malay Opera \"Dardanela\" ini dibentuk pada 21 Juni 1926 di Sidoarjo, Jawa Timur. Willy Klimanoff yang lahir di Penang semula bekerja di Komidi Stambul Constantinopel. Pada saat itulah Willy Klimanoff mengganti namanya menjadi A. Piedro. Berdirinya Klub \"Dardanella\" berawal dari ketidakpuasan A. Piedro sebagai pemain berperan dalam Komoditi Stambul \"Constantinopel\" yang memberi kebebasan berekpresinya sebagian seniman. Dalam klub Dardanella itu A. Piedro dan Andjar Asmara (yang bergabung kemudian) banyak melakukan perombakan secara revolusioner, profesional, dan telah terkonsep, radikal tradisi komedi yang telah dilakukan para pendahulunya. Dalam Komedi Stambul pertunjukan sandiwara diselingi tarian dan lelucon, tetapi A. Pedro menghilangkan hiburan itu. Pertumbuhan Dardanela mempunyai pengaruh besar bagi perkembangan sandiwara di kemudian hari. Mereka menyuguhkan pementasannya dengan menggunakan naskah, yang pada akhirnya tumbuh menjadi seperti Teater Tanah Air. Dardanella lahir di tengah-tengah masa kejayaan Orion (Miss Riboet's Orion, nama rombongan teater profesional). Oleh karena itu, motivasi kelahiran Dardanella adalah menyaingi kepopuleran, keberhasilan, dan kesuksesan Orion. Orion populer dan sukses berkat bintang panggung yang cantik, yaitu Miss Riboet. Untuk menyaingi Orion, Dardanella mengetengahkan seorang bintang yang sedang menanjak namanya saat itu, yaitu Tan Tjeng Bok yang khusus memerankan tokoh pahlawan yang pandai memainkan pedang. Dalam perkembangan selanjutnya, bintang-bintang seperti Dewi Dja dan Astaman bergabung ke Dardanella. Kemudian, menyusul pula Anjar Asmara dan Nyoo Cheong Seng bergabung ke Dardanella sebagai penulis naskah. Kedua penulis naskah itu berani menyajikan cerita-cerita yang agak \"berat\" dan \"problematik\" karena mereka mengetahui bahwa sebagian penonton rombongan sandiwara itu berasal dari golongan terpelajar hingga nonterpelajar. Meskipun demikian, Dardanella tidak melupakan moto yang dipakai dalam pertunjukannya, yaitu \"memberi tontonan yang memuaskan publik\". Bahasa yang digunakan para pemain Dardanella ialah bahasa Melayu. Demikian pula, apabila sedang mementaskan lakon-lakon yang ditulis dalam bahasa asing, yang berasal dari luar negeri, para pemain menggunakan bahasa Melayu. Misalnya, lakon-lakon Victor Ido yang ditulis dalam bahasa Belanda, dipentaskan oleh para pemain Dardanella dalam bahasa Melayu. Pada tahun 1930-an Nyoo bergabung dengan Dardanella, kelompok sandiwara keliling terkenal di Indonesia saat itu. Fifi pun menjadi salah satu bintang panggung kelompok itu. Di masa pendudukan Jepang, Nyoo dan Fifi mendirikan kelompok sandiwara \"Bintang Soerabaya\", bersama Dahlia, bintang film terkenal sebelum Perang Dunia II. Tradisi sandiwara yang dikembangkan tidak banyak berbeda dengan tradisi komedi bangsawan. Namun, dalam perkembangan selanjutnya, Dardanella menampilkan lakon yang sudah mengarah kepada penceritaan lakon-lakon yang realistis. Sebagai ilustrasi, lakon dalam babak pertama masih bersifat hikayat, bermain dalam angan-angan, serta menjadikan penonton terbuai oleh mimpi dan kemewahan. Selanjutnya, dalam babak kedua ditampilkan cerita-cerita realistis yang tengah terjadi di masyarakat, seperti lakon Nyai Dasima dan Si Conat. Bahkan, pada akhirnya, Dardanella sama sekali meninggalkan tradisi komedi bangsawan, lakon dimainkan sama sekali tanpa nyanyian. Tidak hanya dalam tradisi lakon, dalam tradisi pementasannya pun Dardanella mengadakan perombakan. Dalam satu pementasan penonton berkumpul di satu tempat atau gedung untuk menyaksikan pertunjukan yang digelar di atas panggung. Boen S. Oemarjati (1971) melihat sifat teater Dardanella dari dua sudut pandang, yaitu dari lakonnya dan dari cara penyajiannya di atas panggung. Jika dilihat dari aspek lakon, Dardanella menampilkan (1) cerita-cerita yang populer masa itu yang berasal dari Inggris, antara lain The Three Musketeers, Zorro, dan Two Lovers, (2) cerita-cerita lama yang terkenal, antara lain Graaf de Monte Cristo, (3) cerita-cerita yang tergolong dalam novel, yang judulnya menggunakan bahasa Belanda, antara lain De Roos vanTjikembang, Lily van Tjikampek, dan De Roos van Serang. Jika dilihat dari cara penyajiannya di atas panggung, Dardanella mementingkan gerak, sedangkan nyanyian diperdengarkan seperlunya. Satu lakon terdiri atas 8 atau 9 babak. Pertunjukan Dardanella dipandang sebagai hiburan yang sopan, yang dipanggungkan di tempat atau gedung tertentu. Masa kejayaan Dardanella berlangsung sekitar 10 tahun. Pada tahun 1935 Dardanella mengadakan perjalanan keliling Asia. Akan tetapi, perjalanan keliling dunia justru merupakan masa perpecahan dan bubarnya rombongan itu. Pimpinan rombongan sandiwara, A. Piedro bersama istrinya, Dewi Dja, dan tiga puluh pemain meneruskan perjalanan, sedangkan Anjar Asmara dan istrinya kembali ke Jawa, lalu membentuk rombongan sandiwara lain yang diberi nama Bolero. Nyoo Cheong Seng dan Fifi Young juga mengundurkan diri dari Dardanella kemudian mendirikan rombongan sandiwara yang baru, yaitu Fifi Young's Pagoda. Rombongan sandiwara Dardanella telah menampilkan karakterisasi drama dan teater di Indonesia. Hal itu merupakan tahap permulaan timbul dan tumbuhnya konsep drama dan teater modern dalam sastra Indonesia. Namun yang mengecewakan para kritikus seperti Jim Lim, Saini KM, Umar Kayam, Putu Wijaya, Nano Riantiarno, Rendra, Afrizal Malna, Bakdi Sumanto, Hanindawan, Nursahid, Sapardi Djoko Damono, dan Goeawan Mohamad adalah bahwa kegiatan teater di Jawa Timur itu tidak punya referensi dan data tentang kegiatan dan keberadaan teater modern Indonesia. Hal itu mungkin disebabkan kualitas teater yang kurang layak atau di Jawa Timur tidak ada kritikus yang andal. Secara logika teater Indonesia maju dan terus berkembang di Jatim, tetapi kenyataannya pewarisan tradisi teater modern pertama kali tidak terletak di kota-kota Jatim, tetapi Solo, Bandung, Yogyakarta, dan Jakarta. Pada akhirnya, pada dekade dewasa ini, kreator dan pekerja seni teater Jatim tidak profesional dalam mengelola. Mereka telah gagal mewarisi dan mempertahankan tradisi teater modern yang telah dibangun Komedi Stamboel dan Dardanella. Dalam beberapa pertunjukan terakhir teater-teater Jatim di Surabaya, pekerja teater Jatim mengesampingkan problematik perspektif kritis massa.","judul":"Dardanella (1926)","sumber":"http:\/\/ensiklopedia.kemdikbud.go.id\/sastra\/artikel"}]